Rabu, 24 Maret 2010

TUGAS SEJARAH DAKWAH

OLEH :ANDREAS YUDHA P
26.08.1.1.003
DAKWAH PRA ISLAM
Pendahuluan

Dalam makalah ini, kami ingin menyampaikan sejarah dakwah pada masa pra Islam. Di dalam makalah ini, kami akan menjelaskan bagaimana metode-metode yang dilakukan oleh para penganut agama pada masa pra islam dalam menyebar l;uaskan ajaran yang mereka yakini. Diantaranya ada agama majusi, kristen, serta keyakinan para penyembah berhala.
Selain itu makalah ini akan menjelaskan bagaimana kehidupan antar pemeluk masing-masing agama itu. Serta polemik-polemik yang terjadi dalam setiap keyakinan tersebut.
Isi

Penyelidikan mengenai sejarah peradaban manusia dan darimana pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah.
Sumber peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria - ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.
Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru terjadi sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia.
Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera.
Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam.
Setelah datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: "Akulah tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.
Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula diambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia.
Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.
Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah. Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan Almasih.
Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran.
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu.
Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur. Juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula.
Polemik keagamaan tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Kedua kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah pengaruh kedua kekuatan itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan.
Pemuka-pemuka kedua agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah itu tetap seperti sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai terjamah oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi, kecuali sebagian kecil saja pada beberapa kabilah.
Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak.
Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan diri.
Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran. Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transport perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara Rumawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa itu merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai air daripada daratan, menjadi raja laut.
Dan sudah wajar pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya. "Jalan kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja," kataHeeren, "tetapi sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta pertolongan dari tempat itu.
Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting di antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah; dan karena itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produks barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya-kecuali bagi mereka yang sudah biasa sejak masa mudanya. Sedang mereka yang berani secara untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat tersebut -yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan- ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap pribadipun tidak mempunyai suatu sistiem hubungan dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat.
Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.
Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian -sesudah Muhammad SAW. lahir di tempat tersebut- orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya sama sekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.
Tak ada yang dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.
Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah diselidiki -dan sampai sekarang penyelidikan itu masih diteruskan- menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarahpun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami bencana.
Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa (Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam kisah "orang-orang yang membuat parit," dan menyebabkan turunnya ayat: "Binasalah orang-orang yang telah membuat parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman itu mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orang-orang itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan Terpuji."
Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari Kerajaan Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku sejarah korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu orang. Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi sedang berada dalam puncak kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang kuat dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia itu ke Bizantium.
Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau anak yang lebih utama dari ibu -suatu perdebatan yang terjadi dimana-mana-, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah biasa berlaku.
Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu baik-baik saja.
Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri. Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka. Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada dasarnya masih bersifat sofistik -dapat juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik-, yang dengan kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya itu.
Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah -sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya- menunjukkan, bahwa sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.
Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu, Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu.
Sayang sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.
Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula dalam perjalanan bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu, baik yang ada dalam Ka'bah atau yang ada disekelilingnya, begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah berhala-berhala itu.
Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke tempat itu pula orang melepaskan pandang.
Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi Muhammad, dan dengan demikian ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka'bah tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar sejak berabad-abad lamanya.
Penutup

Kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah pengaruh kedua kekuatan itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan.
Pemuka-pemuka kedua agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya.
Yang menyebabkan orang-orang Arab tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri. Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka.
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah -sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya- menunjukkan, bahwa sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi


Daftar Pustaka

• Haekal, Muhammad Husain. 1980. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya.
• http: www.google.com

TUGAS FIQH

OLEH :ANDREAS YUDHA P
26.08.1.1.003
ISI
ZAKAT
Zakat menurut istilah harta yang tertentu,yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat. Hukumnya adalah fardlu ‘ ain atas tiap-tiap orang yang cukup syarat-syaratnya. Zakat mulai diwajibkan pada tahun kedua Hijriah. Firman Allah SWT : (QS An-Nisa : 77) dan Al- Baqarah: 277
Sabda Rasulullah SAW yang artinya : “Dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW bersabda, “ Seseorang yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya,akan dibakar dalamnerakajahanam,baginya dibuatkan seterika dari api,kemudian diseterikan ke lambung dan dahinya,…. (HR Ahmad dan Muslim)
Benda yang wajib dizakati
• Binatang Ternak
Jenis binatang yang wajib dizakati adalah unta, sapi,kerbau,dan kambing. Keterangannya adalah ijma.
Syarat-syaratnya adalah:
a. Islam. Orang non Islam yang mempunyai binatang tersebut tidakwajib dizakati
b. Merdeka
c. Milik yang sempurna
d. Cukup satu nisabnya
e. Sampai satu tahun lamanya dimiliki
f. Digembalakan di rumput yang mubah
Nisab dan zakat unta
Nisab Zakatnya Umur
Bilangan dan jenis zakat
25-35 1 ekor anak unta 1 tahun lebih
36-45 1 ekor anak unta 2 tahun lebih
46-60 1 ekor anak unta 3 tahun lebih
61-75 1 ekor anak unta 4 tahun lebih
75-90 2ekor anak unta 2 tahun lebih
91-120 2 ekor anak unta 3 taahun lebih
121 3 ekor anak unta 2 tahun lebih
Nisab Zakat sapi dan kerbau

Nisab Zaakatnya umurnya
Bilangan dan jenis zakat
30-39 1 ekor anaksapi atau seekor kerbau 2 tqhun lebih
40-59 1 ekor anaksapi atau seekor kerbau 2 tahun lebih
60-69 2 ekor anaksapi atau seekor kerbau 1 tahun lebih
70-…. 1 ekor anak sapi atau seekor kerbau 2 tahun lebih

Nizab zakat kambing
Nizab Zakatnya umurnya
Bilangan danjeniszakat
40-120 1 ekor kambing betina/1 ekor domba betina 2 tahun lebih/1 tahun lebih
120-200 2 ekor kambing betina/2 ekor domba betina 2 tahun lebih/1 tahun lebih
201-399 3 ekor kambing betina/3 ekor domba betina 2 tahun lebih/1 tahun lebih
400-….. 4 ekor kambing betina/4 ekor domba betina 2 tahun lebih/1 tahun lebih

Perhatian:
a. Anak binatang yang lahir setelah satu nisab,tahunnya adalah menurut tahun ibunya yang telah sampai satu nisabitu.
b. Binatang yang dipakai untukmembajak sawah ataumenarik gerobak tidak wajib dizakati.
• Emas dan Perak
Barang tambang lain tidak wajib dizakati. Syarat bagi pemilikemas dan perak yang wajib dizakati adalah:
a. Islam
b. Merdeka
c. Milik yang sempurna
d. Sampai satu nisab
e. Sampai satu tahun disimpan
Firman Allah SWT (QS At- Taubah:34)
Nisab emas 20 misqal, berat timbangannya 93,6 gr zakatnya 1/40 (2,5% = ½ misqal= 2,125 gr)
Nisab perak 200 dirham 9624 gr) zakatnya 1/40 (2,5%) -5 dirham (15,6 gr)
• Biji Makanan yang mengenyangkan
Seperti beras, jagung,gandum,adas, dan sebagainya. Adapun biji makanan yang tidak mengenyangkan seperti kacang tanah, kacang panjang, buncis tidak wajib dizakati
Syarat bagi pemilikbiji-biji yang wajib dizakati antara lain:
a. Islam
b. Merdeka
c. Milik yang sempurna
d. Sampai nisabnya
e. Biji tanaman itu ditanam oleh manusia
f. Biji tanaman itu mengenyangkan dan tahan disimpan.
• Buah-buahan
Yang dimaksud dengan buah-buahan yang wajib dizakati hanya kurma dan anggur saja,sedeangkan buah-buahan yang lain tidak.
Seperti dalam hadist: Rasulullah SAW, telah menyuruh supaya menaksir buah anggur itu berapa banyak buahnya,seperti menaksir buah kurma,dan beliau menyuruh juga supaya memunggut zakat anggur setelah kering seperti mengambilzakat buah kurma,juga sesudah kering. (HR Tirmidzi)
Nisab biji dan buah-buahan
Nisab biji makanan yang mengenyangkan dan buah-buahan adalah 300 sa’ (ialah lebih kurang 930 liter) bersih dari kulitnya. Zakatnya kalau yang diairi dengan air sungai atau air hujan adalah 1/10 (10%). Tetapi kalau diairi dengan air kincir yang ditarik oleh binatang atau disiram dengan alat yang memakai biaya zakatnya adalah 1/20 (5%). Mulai wajib zakat biji dan buah-buahan ialah bila sudah dimiliki, yaitu dari sesudah masak. Zakat ini wajib dikeluarkan tunai apabila sudah terkumpul,dan yang menerimanya sudah ada.
• Zakat paroan sawah
Zakat paroan sawah diwajibkan atas orang yang punya benih sewaktu mulai bertanam. Jika yang mengeluarkan benihnya adalah petani yang mengerjakan sawah itu, maka zakat seluruh hasil sawah yang dikerjakannya itu wajib atas petani itu. Jika benih itu berasal dari yang punya tanah,maka zakat seluruh hasil sawah itu wajib dibayar oleh pemilik sawah.
• Zakat rikaz (harta terpendam)
Rikaz adalah emas atau perak yang ditanam oleh kaum jahiliyah (sebelum Islam). Apabila kita menemukannya, wajib dizakati 1/5 (20%). Sabda Rasulullah SAW : “Dari Abu Hurairah, “Rasulullah Saw,telah berkata,”Zakat rikaz seperlima.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Rikaz tidak disyaratkan sampai satu tahun,tetapi apabila didapat wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu itu juga.
• Zakat Fitrah
Pada setiap Hari Raya Idul Fitri,setiap orang Islam, laki-laki dan perempuan, besar keci,merdeka atau hamba, diwajibkan membayar zakat fitrah sebanyak 3,1 liter dari makanan yang mengenyangkan menurut tiap-tiap tempat (negeri)
Sabda Rasulullah Saw : Dari Ibnu Umar,Ia berkata, “Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitri (berbuka) bulan Ramadhan sebanyak satu sa’ (3,1 liter) kurma atau gandum atas tiap-tiap orang-orang muslim merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.” (HR. Bukhori dan Muslim)
 Syarat –syarat wajib zakat fitrah :
1. Islam. Orang yang tidak beragama islam tidak wajib membayar zakat fitrah.
2. Lahir sebelum terbenam matahari pada hari penghabisan bulan Ramadhan. Anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak wajib zakat fitrah.
3. Dia mempunyai kelebihan harta dari keperluan makanan untuk dirinya sendiri dan untuk yang wajib yang dinafkahinya.
 Membayar fitrah sebelum waktu wajib
Waktu wajib zakat fitrah adalah sewaktu terbenam matahari pada malam hari raya. Beberapa waktu dan hukum membayar fitrah pada waktu itu ialah :
1. Waktu yang diperbolehkan, yaitu dari awal Ramadhan sampai hari penghabisan Ramadhan.
2. Waktu wajib, yaitu mulai terbenam matahari penghabisan Ramadhan.
3. Waktu yang lebih baik (sunat), yaitu dibayar sesudah salat subuh sebelum pergi salat hari Raya.
4. Waktu makruh, yaitu membayar fitrah sesudah salat hari raya, tetapi sebelum terbenam matahari pada hari raya.
5. Waktu haram lebih telat lagi, yaitu dibayar sesudah terbenam matahari pada hari raya.
 Orang yang berhak menerima zakat
Orang-orang yang berhak menerima zakat hanya mereka yang telah ditentukan Allah SWT dalam Al- Qur’an. Mereka itu terdiri dari delapan golongan. Firman Allah SWT (At-Taubah :60)
1. Fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta atau usaha yang kurang dari seperdua kecukupannya, dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya.
2. Miskin ialah orang yang mempunyai harta atau usaha sebanyak seperdua kecukupannya atau lebih, tetapi tidak sampai mencukupi.
3. Amil ialah semua orang yang bekerja mengurus zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu.
4. Mualaf ialah orang yang baru baru masuk islam, sedangkan imannya belum teguh.
5. Hamba ialah hamba yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia tidak boleh menebus dirinya. Hamba ini diberi zakat sekedar untuk menebus dosanya.
6. Berutang. Ada tiga macam :
 Orang yang berutang karena mendamaikan dua orang yang sedang berselisih.
 Orang yang berutang untuk kepentingan dirinya sendiri pada keperluan yang mubah, atau yang tidak mubah, tetapi dia sudah tobat.
 Orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, sedangkan dia dan orang yang dijaminnya itu tidak dapat membayar utang.
7. Sabilillah ialah balatentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri, sedangkan dia tidak mendapat gaji yang tertentu dan tidak pula mendapat bagian dari harta yang disediakan untuk keperluan peperangan dalam kesatuan balatentara.
8. Musafir ialah orang yang mengadakan perjalanan dari negeri zakat atau melalui negeri zakat.


• Orang yang tidak berhak menerima zakat
Ada lima golongan yaitu :
1. Orang kaya dengan harta atau kaya dengan usaha dan penghasilan
2. Hamba sahaya, karena mereka mendapat nafkah dari tuan mereka.
3. Keturunan Rasulullah SAW. Sabda Rasulullah Saw : Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Pada suatu hari Hasan bin Ali (cucu Rasulullah Saw) telah mengambil sebuah kurma zakat, lantas dimasukkan ke mulutnya. Rasulullah Saw bersabda (kepada cucu beliau), ‘jijik, jijik, buanglah kurmaitu!Tidak tahukah kamu bahwa kita (keturunan Muhammad) tidak boleh mengambil sedekah (zakat)’ ?” (HR. Muslim).
4. Orang dalam tanggungan yang berzakat, artinya orang yang berzakat tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang yang dalam tanggungannya dengan nama fakir dan miskin.
5. Orang yang tidak beragama Islam.





• Hikmah (Gunanya) zakat
Diantaranya adalah :
1. Menolong orang yang lemah dan susah agar dia dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah dan terhadap makhluk Allah (masyarakat).
2. Membersihkan diri dari sifat kikir dan akhlak yang tercela.
3. Sebagai ucapan syukur dan terima kasih atas nikmat kekayaan yang diberikan kepadanya.
4. Guna menjaga kejahatan-kejahatan yang akan timbul dari si miskin yang susah.
5. Guna mendekatkan hubungan kasih sayang dan cinta mencintai antara si miskin dan si kaya.

PENUTUP
Sehubungan dengan harta manusia terbagi menjadi tiga tingkatan,yaitu :
1. Sanggup mengorbankan hartanya untuk keperluan dirinya sendiri, kemajuan agama, untuk menolong orang yang susah, membantu kemaslahatan, kemakmuran bangsa dan tanah air.
2. Tidak sanggup memblanjakan hartanya kecuali untuk kesenangan dan kemegahan hawa nafsunya sendiri.
3. Orang yang telah diberi rezeki oleh Allah mendapat harta banyak, sedangkan dia tidak mengambil manfaatnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk untuk orang lain, hanya dikumpulkan dan dijaganya supaya jangan keluar dari tangannya.
Daftar Pustaka
Rasjid, Sulaiman. 1954. Fiqh islam. Jakarta: PT. Sinar baru algensindo

TUGAS ILMU DAKWAH

OLEH :ANDREAS YUDHA P
26.08.1.1.003
PENGERTIAN DAKWAH
Secara etimologi, kata dakwah sebagai bentuk mashdar dari kata do’a (fi’il madhi) dan yad’u (fi’il mudhari’) yang artinya memanggil (to call). Mengundang ( to in vite), menggajak (to summer), menyeru (to propo), mendorong (to urge) dan memohon (to pray) (Warson Munawir, 1994:439).
Dakwah dalam pengertian tersebut dapat dijumpai dalam Al Qur’an yaitu pada surat Yusuf:33 dan Surat Yunus:25. Secara termologis pengertian dakwah dimkanai dari aspek positif ajakan tersebut, yaitu ajakan kepada kebaikan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Definisi dakwah didalam Islam adalah sebagai kegiatan “mengajak mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah serta berjuang bersama meninggikan agama-Nya.
Kata mengajak, memotivasi, dan mendorong adalah kegiatan dakwah dalam ruang lingkub tabligh. Kata bashirah untuk menunjukan dakwah itu harus dengan ilmu dan perencanaan yang baik. Kalimat meniti jalan Allah untuk menunjukan tujuan dakwah yaitu mardhatillah. Kalimat istiqamah di jalan-Nya untuk menunjukkan dakwah itu harus berkesinambungan. Sedangkan kalimat berjuang bersama meninggikan agama Allah untuk menunjukan dakwah bukan untuk menciptakan kesalehan pribadi. Untuk mewujudkan masyarakat yang saleh tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus bersama-sama. (Muhammad Ali Aziz, 2004:4). Sedangkan definisi dakwah menurut para pakar anatara lain:
1. Syekh Ali Makhfudh dalam kitabnya Hidayatul Muesyidin, mengatkan dawah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperolah kebahagiaan dunia dan akhirat(11:17).
2. Muhammad Kh dr Husein dalam bukunya ad-Dakwah ila al-Islah mengatakan dakwah adalah upaya untuk memotivasi agar orang berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagian dunia dan akhirat (tt, 17).
3. HSM Nasarudin Latif mendefinisaikan dakwah adalah setiap usaha aktivitas dangan lisan mupun tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak Islamiyah (tt, 11).
4. Toha Yahya Oemar, mengatkan bahwa dakwah adalah mengajak manusia kdengan cara bijaksana kepada kjalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka didunia dan akhirat (1981:1).
5. Quarai Sihab mendefinisaiknnya sebagai seruan atau ajakan kepada kainsyafan, atau usaha mengubah sesuatu yang tidak baik kepada sesuatu yang lebih baik terhadap pribadi maupun masyarakat (1992:194).
AYAT – AYAT ALQUR’AN TENTANG DAKWAH
Istilah dakwah digunakan dalam Al Qur’an baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk mashdar berjumlah lebih dari seratus kali. Dalam Al Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Isalam dan kebaikan, 7 kali kepada neraka dan kejahatan. Beberapa dari ayat tersebut:
Mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran ( QS. Ali Imran:104)
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.
[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
1. Mengajak manusia kepada jalan Allah (QS an-Nahl:125)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
[845] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
2. Mengaak manusia kepada jalan yang lurus (QS al-Mukminun:73)
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan yang lurus.
3. Q.s. Fushilat : 33
"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (manusia) kepada Allah dan beramal shalih dan berkata, "Bahwasanya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)."
4. Q.s. Adz-Dzariyat : 55
"Dan berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman."
5. (Q.s. Thaha: 132).
"Dan suruhlah keluargamu (umatmu) dengan shalat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberimu rezeki. Dan akibat (yang baik) itu bagi orang yang bertakwa."
6. Q.s. Luqman : 17
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat baik, dan cegahlah dari kemungkaran dan bersabarlah atas apa-apa yang menimpamu. Sesungguhnya hal itu adalah urusan yang diutamakan."
7. Q.s. Ali Imran: 104
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.
[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya
8. Q.s. An-Nisa: 114
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat baik, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa berbuat demikian karena mengharap ridha Allah, maka Kami akan memberinya pahala yang besar."

TUGAS ILMU KOMUNIKASI

Nama : ANDREAS YUDHA P
NIM : 26.08.1.1.003
Jurusan : DAKWAH & KOMUNIKASI

Introduction to Communication Studies
Book by John Fiske; Routledge, 1990. 206 pgs.
I. INTRODUCTION
WHAT IS COMMUNICATION?
Communication is one of those human activities that everyone recognizes but few can define satisfactorily. Communication is talking to one another, it is television spreading information. can we properly apply the term ”a subject of study” to something as diverse and multi-faceted as human communication actually is? Is there any hope of linking the study of, say, facial expression with literary criticism?
The doubts that lie behind questions like these may give rise to the view that communication is not a subject, but is a multi-disciplinary area of study. This view would propose that what the psychologists and sociologists have to tell us about human communicative behavior has very little to do with what the literary critic.
Communication is amenable to study, but that we need a number of disciplinary approaches to be able to study it comprehensively
Communication involves signs and codes. Signs are artefacts or acts that refer to something other than themselves; that is, they are signifying constructs. Codes are the systems into which signs are organized and which determine how signs may be related to each other.
Communication signs and codes are transmitted or made available to others, and that transmitting or receiving signs/codes/ communication is the practice of social relationships.
Communication is central to the life of our culture: without it culture of any kind must die. Consequently the study of communication involves the study of the culture with which it is integrated. Underlying these assumptions is a general definition of communication as ‘social interaction through messages.
Communication as the transmission of messages. It is concerned with how senders and receivers (encode and decode). With how transmitters use the channels and media of communication. It is concerned with matters like efficiency and accuracy. With sees communication as a process by which one person affects the behaviour or state of mind of another. If the effect is different from or smaller than that which was intended, tends to talk in terms of communication failure, and to look to the stages in the process to find out where the failure occurred.
Sees communication as the production and exchange of meanings. It is concerned with how messages, or texts, interact with people in order to produce meanings, that it is concerned with the role of texts in our culture. It uses terms like signification, and does not consider misunderstandings to be necessarily evidence of communication failure., they may result from cultural differences between sender and receiver. The study of communication is the study of text and culture. The main method of study is semiotics (the science of signs and meanings).
Communication as social interaction through messages in its own way. The first defines social interaction as the process by which one person relates to others, or affects the behaviour, state of mind or emotional response of another, and of course vice versa.
Many of its followers believe that intention is a crucial factor in deciding what constitutes a message. Many of its followers believe that intention is a crucial factor in deciding what constitutes a message. Thus pulling my earlobe would not be a message unless I deliberately did it as a pre-arranged signal to an auctioneer. The sender’s intention may be stated or unstated, conscious or unconscious, but must be retrievable by analysis. The message is what the sender puts into it by whatever means
For semiotics, on the other hand, the message is a construction of signs which, through interacting with the receivers, produce meanings. The sender, defined as transmitter of the message, declines in importance. The emphasis shifts to the text and how it is ‘read’. And reading is the process of discovering meanings that occurs when the reader interacts or negotiates with the text. This negotiation takes place as the reader brings aspects of his or her cultural experience to bear upon the codes and signs which make up the text. It also involves some shared understanding of what the text is about. We have only to see how different papers report the same event differently to realize how important is this understanding, this view of the world, which each paper shares with its readers. So readers with different social experiences or from different cultures may find different meanings in the same text. This is not, as we have said, necessarily evidence of communication failure.

TUGAS TASAWUF

الطريقة القادرية والنقشبندية
OLEH :ANDREAS YUDHA P
26.08.1.1.003
PONDOK PESANTREN
BAHRURROHMAH AL-HIDAYAH
Candi Gatak, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah
(Manungso Angroso Marganing Jalmo, Trusing Roso Ambuko Tunggal)
الانسان سرى واناسره
Pengasuh : Syaikhina Wamurobbi Ruhina Al-Haji Romo Kiai Muhadi Mu'alim
Pedoman : Al-Qur'an Surat Al-Isro' ayat 85
Artinya: "dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah rohku termasuk urusan tuhanku dan tidaklah diberi pengatuhan melainkan sedikit"

1. Kitab-kitab yang dikaji diantaranya : Al-Hikam, Duratunnasihin, Ikhya 'Ulumuddin
2. Metode dakwah tidak seperti dakwah syari'at pada umumnya, biasanya diajarkan kepada santri yang sudah di baiat (janji melakukan aurod-aurod atau wiridan yang telah diajarkan dengan benar)oleh guru Mursyid / kholifah.
3. Jamaah : kebanyakan dari Boyolali dan Klaten.
4. Kegiatan sehari-hari seperti ngaji pada umumnya dan kajian Rutin pada Hari Rabo pon (siang), Minggu pahing (malam).
5. Thoriqoh artinya jalan menuju Allah
6. Thoriqoh Qodiriyah adalah thoriqoh yang diajarkan oleh Sultan Aulia Syeh Abdul Qodir Jailani.
7. Ciri-ciri organisasi identik dengan NU, karena thoriqoh adalah rujukan dari NU(Nahdhlatul 'Ulama)
8. Ciri-ciri santri, biasanya selalu membawa tasbih, karena setiap selesai sholat harus melakukan aurod-aurod yang diajarkan Mursyidnya.
9. Tujuan Thoriqoh
1. Duwe Alloh, ngertenono Allohe "(Mempunyai Tuhan (Allah), harus Tau Tuhannya (Allah)".
2. Manungso ngertiho manungsane "(manusia harus tahu siapa manusianya(jati diri yang sebenarnya)".
3. Urip ngertiho uripe "(manusia hidup harus tau hidupnya untuk apa dan untuk siapa)".
4. Duwe nyawa ngertiho nyawane "(Manusia harus tau nyawanya)".
5. Bakal mati ngertiho patine "(Manusia pasti mati, harus tau kematiannya)".

Pendapat saya tentang Thoriqoh Qodiriyah Wannaqsyabanndiyah
Menurut saya thorikoh sah-sah saja karena ada dasarnya dalam Al-Qur'an yaitu Q.S. Al-Isro' ayat 85 dan ajaran tersebut adalah ajaran Nabi Muhammad.


SILSILAH THORIQOH QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH

Syaikhina Muhadi Mu'alim dari Syaikhina Ahmad dari Syaikhina Muhammad Sodiq Lutfil Hakim dari Syeh Muslih dari Abdurrohman dari Syeh Abdul Latif dari Syeh Ibrahim dari Syeh Asnawi dari Syeh Abdurrohman dari Syeh Ahmad Khotib Sammbas dari Syeh Syamsuddin dari Syeh Muhammad Murrod dari Syeh Abdul Fatah dari Syeh Ustman dari Syeh Abdurrohim dari Syeh Abi Bakhri dari Syeh Yahya dari Syeh Hisamuddin dari Syeh Waliyuddin dari Syeh Nuruddin dari Syeh Syarofuddin dari Syeh Syamsuddin dari Syeh Muhammad Al Hattak dari Syeh Abdul Aziz dari Sulthonul Aulia' Syeh Abdul Qodir dari Syeh Abi Said Al Mubarok Al Mahzumi dari Syeh Abil Hasan 'Ali Al Hakari dari Syeh Abil Faroj Turtusiyyi dari Syeh Abdul Wahid At Tamimmiyyi dari Syeh Abi Bakri SibLiyyi dari Syeh Abil Qosim Junaidil Baghdadiyyi dari Syeh Siris Saqotiyyi dari Syeh Ma'rufil Karhiyyi dari Syeh Abil Hasan 'Alibna Musa Arridho dari Syeh Musa Al Kadzim dari Syeh Imam Ja'Far As Shodiq dari Syeh Muhammad Al Baqir dari Syeh Imam Zainil 'Abidin dari Syayyidatina Husain Ibnu Fatimah Azzahra dari Syayyidina 'Ali bin Abi Tholib Ra dari Syayyidina Muhammad SAW dari Syayyidina Jibril As dari Robbul'izati Allah Jalla Jalaluhu.


Sumber :
Joko Susilo (Santri THORIQOH QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH

TUGAS USHUL FIQH

OLEH :ANDREAS YUDHA P
26.08.1.1.003
BAGIAN YANG KETIGA
MENGENAI KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH KEBAHASAAN

I. PENDAHULUAN
Nash-nash Al-Qur'an dan Sunah adalah dalam bahasa Arab. Pema¬haman hukum dari nash hanyalah menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi uslub dalam bahasa Arab dan cara-cara dalalalahnya, serta apa yang ditunjuki tafazh-lafazhnya, baik dalam bentuk mufrad maupun murakkab (susunan). Oleh karena inilah, maka ulama ushul fiqh Islam menaruh perhatian serius pada peneiitian tentang uslub Arab, susunan-nya, dan kata-kata mufradnya, serta mengambil kesimpulan dari penelitian tersebut. Di antara yang ditetapkan oleh ulama bahasa ini ialah : Kaid-kaidah dan ketentuan-ketentuan (dhabith), yang dengan memperhatikan dapat sampai kepada pemahaman hukum dari nash-nash syar'iyyah dengan suatu pemahaman yang benar, sesuai dengan apa yang difahami oleh bahasa Arab yang nash-nash tersebut datang dengan bahasanya, dan juga mcnjadi sarana untuk memperjelas nash yang mengandung kesamaran, menghi-' langkan kontradiksi yang kelihatan di antara nash-nIash itu, dan mentakwilkan sesuatu yang menunjukkan untuk pentakwiiannya, serta lainnya yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari berbagai nashnya.
Kaidah-kaidah dan dhabit-dhabit tersebut adalah kebahasaan (lugha-wiyyah) yang diambil dari peneiitian uslub bahasa Arab, ia bukanlah suatu pembentukan keagamaan. la merupakan berbagai kaidah untuk memahami susunan kalimat dengan suatu pemahaman yang benar. Maka memahami makna dan hukum daripadanya menempuh jalan bangsa Arab dalam memahami susunan bahasa, mufradat dan uslubnya.
Berdasarkan undang-undang maupun menurut akal, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu undang-undang dengan suatu bahasa, dan menuntut umat untuk memahami lafazh dan su¬sunan kalimat materi-materi berdasarkan uslub dan dasar bahasa lain, karena sesungguhnya syarat syahnya pentaklifan undang-undang adalah ke-mampuan mukallaf untuk memahaminya. Maka undang-undang ditetapkan pada suatu ummat dengan bahasa mereka,. dan dengan bahasa mayoritas perseorangannya, supaya mereka mampu memahami hukum dari undang-undang tersebut dengan uslub pemahaman bahasa me¬reka. Undang-undang ini tidak menjadi hujjah atas ummat apabila ia dite¬tapkan dengan bukan bahasa mereka, atau cara pemahamannya bukanlah cara pemahaman bahasa yang ditetapkan pada mereka. Allah SWT, berfirman :
4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan[780] siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Ibrahim : 4)

Berdasarkan uraian tersebut, maka qaidah dan dhabit yang telah di¬tetapkan ulama ushul fiqh Islam mengenai cara-cara penunjukan (dhalalah) lafzah terhadap makna, shighat (bentuk) yang menunjukkan pengertian umum, dan apa yang ditunjuki oleh lafazh yang ramm, muthlaq dan musytarak, mengenai sesuatu yang mengandung takwil dan sesuatu yang tidak memungkinkan takwil, mengenai bahwa yang diakui adalah keumuman la¬fazh, serta berbagai ketentuan dalam memehami nash dan mengambil hukum dari padanya yang lain, sebagaimana ia diperhatikan dalam memahami nash-nash hukum syara', memahami nash undang-undang keperdataan, perdagangan, hukum acara, pidana, dan lainnya dari berbagai perundang-undangan negara yang ditetapkan dalam bahasa Arab, sesuai dengan materi 149 dari Undang-Undang Dasar (Mesir): "Islam adalah agama negara dan bahasa Arab adalah bahasa resminya"
Tidak boleh dikatakan, bahwasanya sebagian undang-undang ini di-transfer ke dalam bahasa Arab, dari sumber Perancis, sedangkan penetap sumber tersebut tidak mengetahui uslub bahasa Arab dalam pemahamannya, dan tidak pula menghendaki agar materi-materinya difahami . Sesuai dengan bahasa Arab, karena sesungguhnya kita mengatakan : “Sesungguhnya undang-undang yang dibebankan pada kita disusun dengan bahasa Arab dan dianggap keluar dari orang yang memahami uslub dengan bahasa Arab”.
Pentaklifan tidaklah bisa lurus kecuali apabila ia dimaksudkan untuk mem-berikan pemahaman sesuai dengan uslub bahasa yang disusun dengannya. Uslub bahasa yang menjadi asal pengalihannya tidak dianggap. Berdasarkan hal ini, apabila nash (teks) bahasa Arabnya dan teks aslinya yang berbahasa Perancis bertentangan, dan tidak mungkin dikompromikan antara keduanya, maka yang dipergunakan teks Arabnya, karena sesungguhnya orang banyak tidaklah ditaklif kecuali dengan apa yang mereka fahami. Ialah yang disebarluaskan di antara mereka.
Berdasarkan ini, Mahkamah banding Mesir menjalankan keteiaparmya yang keluar pada tanggal 30 Januari 1929 dengan berhujjah, bahwasanya undang-undang tidaklah menjadi undang-undang kecuali apabila telah disebarluaskan kepada rakyat, dan disebarluaskan dalam dua bahasa, Arab dan Perancis, padahal mayoritas rakyat tidak rnengetahui bahasa Perancis bahasa diskusi dalam undang-undang adalah bahasa Arab (Majallah Muhamah, h. 529/tahim kesembilan). Dan tidak boleh mempergunakan teks Perancis sebagaimana pendapat mahkamah banding dalam keputusannya yang keluar pada tanggal 29 Desember 1924 yang berhujjah, bahwa ia adalah yang asli yang menjadi penetapan materi itu. Lebih-lebih lagi, bahwasanys bahasa Perancis adalah bahasa Undang-undang. (Majallah Muhamah. h. 805 tahun keenam). Karena sesungguhnya dalam hal ini terdapat pembebanan manusia dengan sesuatu yang tidak mereka fahami dan berbicara dengan bahasa yang harus mereka fahami sebagai tuntutan bahasa lain.
KAIDAH PERTAMA
JALAN DALALAH (PETUNJUK) NASH
Nash Syar'i atau perundang-undangan wajib diamalkan sesuai dengan sesuatu yang difahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya), atau isyaratnya, atau dalalahnya, atau iqtidha'nya. Karena segala sesuatu yang difahami dari nash dengan salah jalan dari empat jalan tersebut, maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash, sedangkan nash ada¬lah hujjah atasnya.
"Apabila pengertian yang difahami dengan salah satu jalan tersebut bertentangan dengan pengertian lainnya yang difahami melalui jalan dari jalan-jalan tersebut, maka makna yang difahami dari ibarat dimenangkan atas makna yang difahami melalui isyarat; dan makna yang difahami me¬lalui salah satu dari dua jalan tersebut dimenangkan atas makna yang di¬fahami melalui dalalah".
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah : Bahwasanya nash syar'i atau perundang-undangan terkadang menunjukkan beberapa makna yang beragam melalui cara dalalah tersebut. Dalalah nash tersebut tidaklah terbatas pada makna yang difahami dari ibaratnya dan huruf-huruf-nya, akan tetapi terkadang pula ia menunjukkan berbagai makna yang di¬fahami dari isyaratnya, dari dalalahnya, dan dari iqtidha'nya, Setiap makna dari makna-maknanya yang difahami dengan salah satu dari cara-cara ter¬sebut maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash. Nash adalah dalil dan hujjah atas dirinya, dan ia wajib mengamalkannya. Karena seseorang yang dibebani dengan nash (teks) perundang-undangan juga di-bebani untuk melaksanakan makna yang ditunjuki oleh nash tersebut, de¬ngan salah satu cara yang diakui menurut bahasa. Apabila seorang mukallaf mengamalkan madlul (yang ditunjuki) oleh nash dari sebagian cara dala¬lahnya dan tidak mengabaikan pengamalan terhadap madlul nash dari cara yang lain, maka sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan nash dari sebagian segi. Oleh karena itulah, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata : "Wajib mengamalkan apa yang ditunjuki oleh ibarat nash dan apa yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash tersebut. Sebagian dari jalan-jalan tersebut lebih kuat dalalahnya dari sebagian yang lain. Pengaruh perbedaan tingkatan ini akan jelas ketika terjadi kontradiksi.

A. IBARAT NASH
Yang dimaksud dengan ibarat nash adalah shighatnya yang terdiri dari berbagai satuan kata (mufradat) dan kalimat. Sedangkan yang dimak¬sud dengan makna yang difahami dari ibarat nash ialah makna yang segera dapat difahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Sepanjang makna itulah yang zhahir pemahamannya dari shighat nash. Sedangkan nash disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka ia adalah yang ditunjuki oleh ibarat nash, yang juga disebut dengan makna literal bagi nash. Jadi dalalah ibarat ialah : dalalah shighat terhadap makna yang segera dapat difahami darinya, yang dimak¬sudkan dari susunannya, baik makna tersebut dikehendaki dari susunannya secara asli ataupun dikehendaki secara pengikutan.
Contoh yang memperjelas perbedaan antara yang dimaksud dari susunan kalimatnya secara asli dan yang dimaksud sebagai pengikutan:
Allah SWT berfirman :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4/An Nisa' :3).
Dari ibarat nash ada tiga makna dapat difahami, yaitu : pembolehan mengawini wanita yang disenangi, membatasi jumlah maksimal isteri sebanyak empat orang, dan pewajiban mencukupkan satu orang isteri saja, apabila dikhawatirkan berlaku tidak adil pada saat isteri banyak. Sebab seluruh makna tersebut ditunjuki oleh lafazh nash dengan dalalah yang nyata. Semuanya dimaksudkan dari susunan kalimatnya, akan tetapi makna yang pertama dimaksudkan secara pengikutan, sedangkan makna yang kedua dan yang ketiga dimaksudkan secara asli. Sebab ayat tersebut disusun untuk menyesuaikan orang-orang yang menjadi washiy terhadap orang-orang yang membatasi diri yang keberatan untuk menerima wasiat, karena merasa khawatir untuk berlaku tidak adil terhadap harta benda anak-anak yatim.
Allah swt. mengingatkan kepada mereka bahwasanya kekhawatiran untuk berlaku zhalim juga harus menghalangi kamu untuk memperbanyak isteri kepada jumlah yang tak terbatas dan tanpa suatu ikatan. Oleh karena itu, mereka haruslah mencukupkan dua orang atau tiga orang atau empat orang isteri. Dan jika mereka juga merasa khawatir untuk tidak dapat berlaku adil ketika beristeri banyak, maka hendaklah mereka mencukupkan pada seorang isteri saja. Mencukupkan pada dua orang isteri, atau tiga orang is¬teri, atau empat orang isteri atau seorang istri saja adalah wajib bagi orang yang merasa khawatir, untuk berlaku tidak adil. Makna inilah yang dimaksudkan secara asli dari-susunan ayat tersebut Makna ini diikuti lagi dengan penjelasan mengenai kebolehan perkawinan. Pembolehan perkawinan dimaksudkan secara pengikutan bukan secara asli, sedangkan yang dimaksudkan secara asli adalah pembatasan jumlah isteri sebanyak empat orang, atau satu orang saja. Kalau sekiranya hanya dibatasi pada dalalah pada makna yang dimaksud dari susunan kalimatnya, niscaya Allah berfirman : "Dan jika kamu merasa khawatir untuk tidak dapat berlaku adil pada anak yatim, maka cukupkanlah pada jumlah pada isteri tidak lebih dari empat orang. Kemudian jika kamu merasa khawatir tidak berlaku adil, di antara jumlah itu, maka cukupkanlah pada seorang isteri saja”.

B. ISYARAT NASH.
Yang dimaksud dengan makna yang difahami dari isyarat nash adalah makna yang tidak segera dapat difahami dari lafazh-lafazhnya, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah makna yang lazim bagi makna yang segera dapat difahami dari lafazhnya. Jadi ia ada¬lah makna yang ditunjuki oleh lafazh melalui cara iltizam. Karena ia ada¬lah makna iltizami dan tidak dimaksudkan dari susunannya, maka dalalah nash terhadap makna tersebut melalui isyarat bukan ibarat. Segi kelazimannya terkadang jelas, dan terkadang pula tersembunyi. Oleh karena inilah mereka berkata : "Sesungguhnya sesuatu yang disyaratkan oleh nash, terkadang pemahamannya membutuhkan penalaran yang mendetail dan pemikiran yang bertebih. Terkadang pula ia dapat difahami dengan pemikiran yang sederbana. Jadi, dalalah isyarat adalah dalalah nash terhadap makna yang lazim bagi sesuatu yang difahami dari ibaratnya, namun tidak dimak¬sudkan dari susunannya, pemahamannya membutuhkan perenungan yang berlebih atau sederhana, sesuai dengan jelasnya segi kelaziman dan ketersembunyiannya.
Contohnya dalalah isyaraf ini ialah firman Allah SWT:

…dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. (QS. 2/Al-Baqarah: 233)
Dari ibarat nash ini dapat difahami bahwasanya nafkah para ibu, baik makanan maupun pakaian adalah wajib atas para ayah, karena sesungguhnya pengertian inilah yang segera tertangkap dari lafazh-lafazhnya, yang dimaksudkan dari susunannya. Dan berdasarkan isyarat nash difahami pula bahwasanya ayah tidak disertai oleh siapapun dalam kewajiban menafkahi anaknya, karena anak adalah untuknya bukan untuk orang lain. Kalau se¬kiranya seorang ayah itu adalah dari suku Quraisy dan ibunya bukan Quraisy maka anaknya adalah untuk ayahnya yang Quraisy itu, karena anaknya adalah untuknya bukan untuk orang lain. Selanjutnya babwasanya ayah¬nya ketika membutuhkan dapat memiliki harta anaknya sesuai yang dibutuhkannya tanpa suatu ganti, karena anak tersebut adalah baginya, maka harta kekayaan anaknya juga miliknya. Hukum-hukum ini difahami dari isyarat nash. Karena sesungguhnya pada lafazh nash terdapat pengkaitan anak pada ayahnya dengan huruf, lam. yang mempunyai pengertian pengkhususan yaitu:
(dan atas orang yang (anak itu) dilahirkan untuknya).
Pengkhususan inilah yang diungkapkan dalam hadits :
Artinya:
"Kamu dan hartamu adalah bagi ayahmu "
Dari kelaziman pengkhususan ini adalah tetapnya hukum-hukum ter¬sebut. Hal tersebut merupakan hukum lazim bagi makna yang difahami dari ibarat nash, namun tidak dimaksudkan dari susunannya. Oleh karena inilah, maka pemahamannya adalah dari isyarat nash, bukan dari ibaratnya.
Satu contoh dari undang-undang pidana (Mesir):
Materi 274: "Wanita yang bersuami yang terbukti berzina dihukum kurungan (penjara) selama tidak lebih dari dua tahun, akan tetapi suaminya berhak untuk menghentikan pelaksanaan hukuman dengan kerelaannya untuk bergaul dengannya kembali”.
Materi ini berdasarkan ibaratnya menunjukkan penghukuman isteri yang terbukti berzina, dan bahwa suami berhak untuk menghentikan ekse-kusi hukuman tersebut. Selanjutnya berdasarkan isyaratnya, materi tersebut menunjukkan bahwa perzinaan isteri bukanlah kriminah'tas sosial dalam pandangan pembuat hukum di Mesir, ia hanyalah tindak kriminal terhadap suami. Ini adalah lazim (konsekuensi) dari penetapan hak kepada suami untuk menggugurkan hukumannya, Karena kalau sekiranya ia merupakan kriminalitas sosial seperti pencurian, niscaya tidak seorangpun berhak untuk menggugurkan hukumannya.
Contoh dari undang-undang perdata (mesir) yang telah dianulir, yaitu :
Materi 155 : "Anak dan suami anaknya sepanjang masih tetap hubungan perkawinan, wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya dan isterinya".
Materi 156 : Demikian pula orang tua wajib menafkahi anak-anaknya dan isteri anak-anaknya dan para suami diwajibkan memberi nafkah satu sama lain.
Mated 157 : Penentuan jumlah nafkah dengan memperhatikan berbagai kelaziman orang yang nafkah itu diwajibkan pada mereka dan kekayaan orang yang diwajibkan mengeluarkannya. Bagaimanapun juga wajib membayarkan nafkah bulaii demi bulan dengan didahulukan.

C. DALALAH NASH
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang difahami dari dalalah nash adalah makna yang difahami dari jiwa dan penalaran nash. Jika ibarat suatu nash menunjukkan hukum suatu kasus, karena suatu illat yang menjadi dasar hukum ini, dan kasus lain ditemukan yang menyamai kasus tersebut dalam segi illat hukumnya, atau bahkan ia lebih-lebih lagi, dan persamaan atau kelebihan itu segera dapat difahami dengan semata-mata memahami bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau qiyas, maka secara bahasa dapat difahami bahwa nash tersebut menyangkut dua kasus itu, dan bahwa hukum yang tetap bagi yang manthuq (yang dikatakan) juga tetap bagi mafhum yang sesuai dengannya dalam illat, baik sejajar persamaannya atau lebih-lebih lagi.
Misalnya dalalah nash ialah firman Allah SWT. mengenai urusan dua orang tua, yaitu
Artinya : "Makajanganlah kamu mengatakan "Uff!" kepada mereka"
(QS.17/Atlsra':23)
Satu contoh dari undang-undang perdata (Mesir) yang telah dianulir : Materi 370 menyebutkan bahwa:
"Orang yang menyewakan tidak boleh dibebani untuk mengerjakan bentuk perbaikan apapun, kecuali apabila hal tersebut diisyaratkan penetapannya dengan hal itu pada waktu diisyaratkan penetapannya dengan hal itu pada waktu akad".
Dari dalalah nash ini difahami bahwa orang yang menyewakan tidak boleh dibebani untuk meni-buat kamar, misalnya. Karena sesungguhnya hal ini lebih berat lagi dari-pada mengerjakan perbaikan dalam adanya illat larangan pembebanan itu, yaitu adanya saling merelakan terhadap sesuatu yang diperjanjikan dengan keadaannya pada waktu akad dilakukan.

D. IQTIDHA' NASH
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang difahami dari iqtidha' nash adalah : makna yang suatu kalimat tidak, dapat lurus kecuali dengan mem-perkirakan makna itu. Dalam sighat nash tidak terdapaf lafazh yang me¬nunjukkan makna itu, akan tetapi kesahehan shighatnya dan kelurusan pengertiannya. menuntut keberadaannya, atau kebenarannya dan kesesuaiannya dengan kenyataan menuntutnya.
Misalnya firman Allah SWT:
Artinya :
"Diharamkan atas kamu ibumu dan anak-anakperempuan kamu.......".
(QS. 4/An-Nisa': 23).
Tetapi ayat tersebut maksudnya mengawini mereka
Ayat tentang wanita yang diharamkan pada surat An-Nisa', yaitu firman Allah SWT:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu.
Sesungguhnya makna yang diambil dari ibaratnya merupakan makna yang segera dapat difahami dari lafazhnya yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Sedangkan makna yang diambil dari isyaratnya merupakan makna yang lazim bagi makna ibaratnya dengan suatu kelaziman yang tidak dapat dihindarkan. Jadi, ia merupakan yang ditunjuki oleh nash melalui cara iltizam. Selanjutnya makna yang diambil dari dalalahnya merupakan makna yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash itu. Kemudian makna yang difahami secara iqtidha' adalah makna dahruri yang dituntut perkiraannya oleh ibarat nash atau kelurusan maknanya.
Cara ibarat lebih kuat dalalahnya daripada cara Isyarat Karena yang pertama menunjukkan kepada suatu makna yang segera difahami dari susunan kalimatnya, sedangkan yang kedua menunjukkan kepada makna lazim. Yang tidak dimaksudkan melalui susunan kalimatnya. Masing masing dan keduanya lebih kuat daripada cara dalalah, karena dua yang pertama merupakan manthuq nash dan madlulnya dari sighatnya dan lafazhnya. Akan tetapi cara dhalalah merupakan mafbum nash dan madlulnya dari segi jiwanya dan penalarannya. Karena perbedaan ini, maka ketika terjadi kontradiksi, maka yang difahami melalui ibarat didahulukan atas yang difahami isyarat. Dan yang difahami dari salah satu dari keduanya dimenangkan atas yang difahami melalui dalalah.
Contoh kontradiksi antara makna yang difahami dari ibarat dan makna yang difahami dari isyarat dari nash syar'iyyah ialah firman Allah. SWT
" .......diwajibkan'atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh......" (QS. 2 /Al-Baqarah: 178).
Dengan firman Allah SWT: 
"Dan barangsiapa yang membunuk seOrang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam"(QS. 4/An-Nisa': 93).
Ayat yang pertama menunjukkan berdasarkan ibaratnya terhadap kewajiban qishash dari pembunuh, dan ayat kedua menunjukkan melalui isyratnya, bahwasanya orang yang membunuh dengan sengaja tidak dikenakan qishash, karena adanya pembatasan bahwa balasannya adalah neraka Jahannarn merupakan isyarat kepada hal ini, karena dari pembatasan pada posisi penjelasan berarti tidak ada hukuman lain yang wajib atas dirinya. Akan tetapi madlul (pengertian yang ditunjuki) oleh ibarat nash dimenangkan atas pengertian yang ditunjuki oleh isyarat nash dan qishashpun wajib.
Berdasarkan cara isyarat nash diambil pengertian bahwasanya ia tidak wajib memerdekakan seorang hamba sahaya, karena ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tidak ada kaffarat dosanya di dunia, karena telah ditetapkan bahwa balasannya adaiah kekekalannya di dalam neraka Jahannam, tidak lainnya. Karena kedua pengertian tersebut bertentangan, maka isyarat nash dime¬nangkan atas datalah nash. Oleh karena itu, orang yang membunuh dengan sengaja tidak wajib memerdekakan seorang hamba sahaya.

MAKALAH ULUMUL QUR'AN

OLEH :ANDREAS YUDHA P
26.08.1.1.003
MAKALAH ULUMUL QUR’AN

HURUF-HURUF AL-MUQATHTHA'AH DALAM AL-QUR'AN

A. PENDAHULUAN
AL-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW, yang paling agung. Didalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagian hidup, baik di dunia dan di akhirat, sebagaimana berfirman Allah dalam (QS, al-isra’17 : 9), “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya”
Al-Qur’an yang terdiri atas 114 surat, yang diawali dengan beberapa macam pembukaan (Fawatih al-Suwar), di antara macam pembuka surat yang tetap aktual pembahasannya hingga sekarang ini adalah huruf muqaththa’ah.
Dalam makalah ini akan membahas huruf Muqaththa’ah yaitu potongan – potongan ayat dimana terdapat pada awal surat dalam Al-Qur’an. Huruf Muqaththa’ah termasuk Mutasyabih yang sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui artinya kecuali Allah sendiri. seperti surat yang dimulai dengan huruf Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Tha Ha, Ha Mim, Shad, Qaf, Nun, Ya Sin, Tha Sin Mim, dan sebagainya

B. ISI
I. Memahami Huruf Muqaththa’ah
Huruf muqaththa’ah dalam al-Qur'an tidak diucapkan sebagaimana lazimnya ayat-ayat yang lain yang diucapkan sesuai dengan bunyi huruf yang disyakali. Tetapi, huruf muqaththa’ah dibaca sesuai dengan huruf yang merangkai. Sebagai pembuka surat, ia hadir dalam bentuk huruf hijaiyah yaitu Yaitu, alif, lam, mîm, shad, ra', kaf, ha', ya', ain, tha', sin, ha', qaf dan nûn dan jumlahnya empat belas yang berarti separoh dari total huruf hijaiyah yang ada dan dikenal kita kenal.
Huruf muqaththa’ah adalah potongan – potongan ayat dimana terdapat pada awal surat dalam Al-Qur’an. Menurut sebagian ulama’ huruf muqaththa’ah termasuk dalam ayat Mutasyabih yaitu tidak ada seorangpun yang mengetahui artinya.
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal, Tasyaba dan isytabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Jadi huruf muqaththa’ah adalah huruf yag terdapat dalam al-quran yang secara tafsir tidak dapat diketahui maknanya.
Adapun yang termasuk huruf muqaththa’ah tersebut dikategorokan dalam beberapa bentuk:
1. Bentuk yang terdiri dari satu huruf. Bentuk ini terdapat pada tiga surat, yaitu surat Shad, Qaf, dan al-Qalam. Surat pertama dibuka dengan shad, kedua dengan qaf, dan ketiga dibuka dengan nun.
2. Bentuk yang terdiri dari dua huruf. Bentuk ini terdapat pada sepuluh surat. Tujuh di antaranya disebut hawamim yaitu surat-surat yang dimulai dengan huruf ha' dan man, Surat-suratnya adalah: surat Ghafir, Fushshilat, Al-Syura, Al-Zukhraf, Al-Dukhan, Al-Jatsiah, dan Al-Ahqaf. Khusus pada surat Al-Syura pembukaannya bergabung antara حم dan عسق . Tiga surat lagi adalah surat طه , طس ,dan يس
3. Pembukaan surat yang terdiri dari tiga huruf terdapat pada tiga belas tempat. Enam di antaranya dengan huruf الم yaitu surat Al-Baqarah ,Ali Imran, Al-'Ankabut, Al-Rum, Luqman, dan Al-Sajadah. Lima dengan huruf الر yaitu pada surat Yunus, Hud , Yusuf, Ibrahim, dan Al-Hijr. Dua susunan hurufhya طسم terdapat pada pembukaansurai Al-Syu'afa dan Al-Qashash.
4. Pembukaan surat yang terdiri dari empat huruf, yaitu المص pada surat Al-A'raf dan الر pada surat Al-Ra'd.
5. Pembukaan surat yang terdiri dari lima huruf hanya satu, yaitu كهيعص pada surat Maryam.

II. Menerjemahkan Muqaththa’ah
Para ahli tafsir mengatakan bahwa mutasyabih dalam Al-Qur’an itu tidak seorangpun juga yang mengetahui maksudnya selain Allah SWT. Lain dari itu Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa Allah SWT yang menurunkan Al-Qur’an itu tidak lain ialah agar huruf potong itu dimanfaatkan oleh hambanya. Dan dengan itulah dia menunjukan pengertian yang dimaksudkan itu.
Ibnu Qutaibah mengemukakan dalam hadist yang dirowikannya, katanya, “apakah diperbolehkan bagi seseorang mengatakan bahwa Rasulullah sendiripun tidak mengetahui maksud mutasybih itu”.
Kata ibnu Qutaibah selanjutnya “kami tidak melihat ahli-ahli tafsir yang tidak mengartikan sesuatu dari hal Al-Qur’an”. Ahli-ahli tafsir itu “mutasabih itu tidak seorang yang mengetahuinya”. Ahli-ahli tafsir itu menafsirkan semua ayat-ayat Al-Qur’an itu malah sampai-sampai kepada huruf potong pada awal-awal surat. Kata Qutaibah selanjutnya dalm menafsirkan ayat yang berbunyi:
Tidak ada seorang juapun yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya itu berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat”.(Al Imron: 7)
Ada orang yang mengatakan: “Bagaiman orang-orang yang mendalam ilimumya itu diperbolehkan dalam bahasa mengetahuinya itu”. Orang-orang yang demikian itu maka berarti dia sendiri yang ikut serta memutuskan orang berilmu uang mengatakan: “Disini tidak ada huruf waw nasak”.
Jika huruf-huruf muqaththa’ah tidak ada yang mengetahui artinya kecuali Allah sendiri, maka pernyataan tersebut bertentangan dengan:

 Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf : 2)
dan Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab[776]. dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.
[776] Keistimewaan bahasa Arab itu antara lain Ialah: 1. sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, 2. bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan Luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan. 3. bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjugasi) yang Amat Luas sehingga dapat mencapai 3000 bentuk peubahan, yang demikian tak terdapat dalam bahasa lain.( Ar Ra'd ayat: 37)
Para alhi tafsir mencoba menafsirkan muqâtha'ah misalnya para sarjana klasik merangkai huruf muqâtha'ah (alif, lam, mîm, shad, ra', kaf, ha', ya', ain, tha', sin, ha', qaf) dengan membuang huruf yang sama, kedalam sebuah bentuk kalimat yang memiliki arti, sebagaimana berikut:
صحّ طريقك بالسنة
"Bersihkan jalan anda dengan Sunnah"

Atau dalam bentuk ungkapan lain:
صراط علىّ حق
"Jalan Ali ra adalah benar"
Ungkapan yang pertama dinyatakan oleh para pengikut aliran Ahlusunnah Waljama'ah. Sedangkan yang kedua biasanya dinyatakan oleh para pengikut Syi'ah. Masing-masing ungkapan tersebut dirangkai untuk menyebut huruf muqatha'ah meskipun dari keduanya menampakkan bias dan kepentingan ideologis.
Sementara itu, Ibnu Katsîr mengemukakan bentuk ungkapan lain mengenai kumpulan huru muqâtha'ah sebagai berikut:
نص حكيم قاطع له سر
"Teks yang jelas dan pasti, memiliki rahasia"
Huruf tersebut merupakan nama-nama Allah. Misalnya saja, alif lâm mîm yang berarti ana Allah a'lam (Aku Allah lebih maha mengetahui); alif lâm mîm râ yang berarti ana Allah a'lam wa ara (Aku Allah lebih maha mengetahui dan melihat); alif lam mîm shâd yang berarti ana Allah a'lam wa afshal (Aku Allah lebih maha mengetahui dan menjelaskan); kâf hâ ya ain shad yang berarti al-Kâfi (yang maha mencukupi), al-Hâdi (yang maha memberi petunjuk), al-Hakîm (yang maha menghakimi), al-Alîm (yang maha mengetahui) dan ash-Shâdiq (yang maha benar); alif lâm mîm yang berarti alif berarti Allah, lâm berarti lathîf (yang maha lembut) dan mîm berarti majîd (yang maha agung).
Menurut sarjana muslim yang lain, bias saja huruf muqâtha'ah merupakan nama-nama Allah yang hadir dalam bentuk terpotong-potong. Jika manusia mampu menyusunnya, maka ia pasti mengetahui nama Allah yang agung. Misalnya, alif lâm ra – ha mîm – nûn yang berarti ar-Rahmân (yang maha pengasih) dan begitu seterusnya. Pendapat ini dating dari Ibnu Abbâs.
Sebagian huruf potong itu diambil terambil dari sifat-sifat Allah SWT. Hal ini merupakakan salah satu ilmu ikhtisar dikalangan orang Arab. Walid bin Uqbah dalam syairnya:
Kataku kepadanya berdiri, - Berdiri
Katanya, - Qaf
Arti kata itu: -aku berdiri, diisyaratkan dengan Qaf yang artinya berhenti. Dari dasar itu para ahli tafsir menjadikan tiap-tiap huruf itu menunjukkan salah satu sifat Allah SWT. Misalnya kata Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah yang berbunyi:
Di antara yang demikian ialah pendapat Ibnu Abbas tentang kaf ha ya ‘ain shad. Kaf diambil dari karim (Pemurah), ha diambil dari hadin (Pemberi Petunjuk), ya diambil dari hakim (Bijaksana), ‘ain diambil dari ‘alim (Maha Mengetahui), dan shad diambil dari shadiq (Yang Benar).

C. KESIMPULAN
Bahwasannya Huruf muqaththa’ah dalam al-Qur'an tidak diucapkan sebagaimana lazimnya ayat-ayat yang lain: yang diucapkan sesuai dengan bunyi huruf yang disyakali. Tetapi, huruf muqaththa’ah dibaca sesuai dengan huruf yang merangkai. Sebagai pembuka surat, ia hadir dalam bentuk huruf hijaiyah yaitu Yaitu, alif, lam, mîm, shad, ra', kaf, ha', ya', ain, tha', sin, ha', qaf dan nûn dan jumlahnya empat belas yang berarti separoh dari total huruf hijaiyah yang ada dan dikenal kita kenal.
Huruf muqaththa’ah adalah potongan – potongan ayat dimana terdapat pada awal surat dalam Al-Qur’an. Menurut sebagian ulama’ huruf muqaththa’ah termasuk dalam ayat Mutasyabih yaitu tidak ada seorangpun yang mengetahui artinya.
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal, Tasyaba dan isytabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Jadi huruf muqaththa’ah adalah huruf yag terdapat dalam al-quran yang secara tafsir tidak dapat diketahui maknanya.
Penggunan huruf-huruf tersebut dalam pembukaan surat-surat Alquran disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari kelompok berikut:
1) Kelompok sederhana, terdiri dari satu huruf, terdapat dalam 3 surat, yakni (ص) (QS. Shad); (ق) (QS. Qaf); dan (ن) (QS. Nun).
2) Kelompok yang terdiri dari dua huruf, tedapat dalam 3 surat, yakni (حم) (QS. Al-Mu’min; QS. Al-Sajdah; QS. Al-Zukhruf, QS. Al-Dukhan; QS. Al-Jatsiyah; dan QS.Al-Ahkaf; (طه) (QS. Thaha); (طس) (QS. Al-Naml); dan (يس) (QS. Yasin).
3) Kelompok yang terdiri dari tiga huruf, yakni (الم) QS. Al-Bqarah, QS. Ali Imran, QS. Al-Ankabut, QS. Al-Rum, QS. Luqman dan QS. Al-Sajdah); (الر) (QS. Yunus, QS. Hud, QS. Ibrahim, QS. Yusuf, dan QS. Al-Hijr, dan (طسم) (QS. Al-Qashash dan QS. Al-Syu’ara).
4) Kelompok yang terdiri dari empat huruf, yakni (الر) (QS. Al-Ra’ad) dan (المص) (QS. Al-A’raf).
5) Kelompok yang terdiri dari lima huruf, yakni rangkaian ((كهيعص (QS. Maryam) dan (حم عسق) (QS. Al-Syuara).


DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasni, Mahmud bin Alawi al-Maliki, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung, Pustaka Setia, 1998.
Chirzin, Muhammad, Al-Quran dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta, PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
Rofi’i, Ahmad & Ahmad Syadali, Ulumul Quran I, Bandung, Pustaka Setia, 1997.
Supiana, & M. Karman, Ulum Quran, Bandung, Pustaka Islamika: 2002.
Al-Abyadi, Ibrahim, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1996

MAKALAH ULUMUL HADIST

OLEH :ANDREAS YUDHA P
26.08.1.1.003

 TERMINOLOGI HADIS
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari al-Qadim (lama) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti
حَدِ يْشُ الْعَهد فى الا سلام
(orang yang barumasuk/memeluk agama islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis. Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Menurut ahli hadis, pengertian hadits ialah:
اَقُوْلُ النبى ص.م وَاَفْعَالُهُ وَاحوْلُهُ
“Segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ada juga yang diberi pengertian lain:
و مَا اُضِيْفَ الَى النبى ص.م قوْلاً أوْفِعْلاً اَوْتَقْرِِيْراً اَوْ صِفَةً
“Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.
Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadits adalah:
اَقُوْالُهُ وَأفْعاَلُهُ وَتَقْرِيْرَ اتُهُ التىِ تَثْبُتُ الأَحْكَامُ وَتُقَرِّرُهاَ
“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hokum syara’ dan ketetapanya”.
Berdasarkan pengetiaan hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hokum atau ketentuan-ketentuan ALLAH yang disyariatkan kepada manusia.

 HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa Hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam al-Quran, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Quran.
Al-Quran dan Hadis merupakan dua sumber syariat islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seseorang mujtahid dan seseorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Banyak ayat al Quran dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum Islam selain al Quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
o Dalil al-Quran
Banyak ayat al-Quran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada ummatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Ayat yang dimaksud adalah:
Firman Allah SWT:
مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendakiNya diantara Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan jika kamu bariman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali’Imran 3:179
Dalam ayat tersebut Allah memisahkan antara orang-orang mukmn dengan orang-orang munafq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-nya. Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW. Ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Ayat yang berkenaan dengan masalah ini ialah:
Firman Allah SWT:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah! Taatlah kalian Allah dan Rasu-nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali ‘Imran 3:32)

o Dalil al-Hadis
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping al-Quran sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا ماَ تَمَسَّكْتُمْ بِهماَ كَتاَبَ اللهِ وَسُنَةَ نَبِيِّهِ (رواَه مالك)
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegangan teguh pada keduanya, yaituberupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya:. (HR. Malik)
o Kesepakatan Ulama (ijma’)
Umat islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadis sama seperti penerimaan al-Quran, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.
Kesepakatan umat Muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak Rasullah masih hidup. Sepeninggaln beliau, semenjak masa khulafa Al- Rasydin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungan-Nya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya,
PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADIS
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadisyang pernahmerekadengardariRasulullahSAW.

- PENGHIMPUNAN HADIS
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadisyang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umarbin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkandan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapalyang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ' oleh imam Malik, AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi'l (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari Sahih Muslim, Sunan An-Nasai dan At-Turmuzi. Tidak sedikit pada "masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.

 ULUMUL HADIS
Yang dimaksud dengan Ulumul Hadis, menurut ulama mutaqaddimin adalah:
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ اتَّصاَلِ الأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ ص.م. مِن ْ حَيْثُ مَعْرِفَةِ اُحْوَالِ رَوَّاتِهاَ ضَبْطًَا وَعَدًالةً وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّندِ اتَّصاَلاً وَانْقِطاَعاً.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW. Dari segi hal ihwal para perawinya, kedabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad, dan sebagainya.

Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah). Secara garis besar ilmu-ilmu hadis dapat dikaji menjadi dua, yaitu Ilmu hadis riwayat (riwayah) dan ilmu hadis diroyat (diroyah).
Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadis kepada Sahiburillah, Nabi Muhammad SAW. dari segi kelakuan para perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad.
Ilmu hadisriwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadis dalam suatu kitab.

 PEMBAGIAN HADIS
PERSPEKTIF MATAN DAN SANAD
A. Perspektif Matan Hadits
Membicarakan matan hadits harus bertolak dari sejarah. Hadits Nabi yang diriwayatkan secara lafal oleh sahabat sebagai saksi pertama hanyalah hadist yang dalam bentuk sabda. Hadits yang tidak dalam bentuk sabda, hanya dapat diriwayatkan secara makna.
Sedangkan hadits Nabi yang tidak berupa sabda ditempuh oleh sahabat sebagai saksi mata berlangsung secara makna. Hadits yang bukan sabda ini dirumuskan kalimatnya oleh sahabat sendiri. Pada hakekatnya kalimat hadits Nabi yang dinyatakan oleh sahabat merupakan matan hadits, yang juga berawal dari hadits bentuk bukan sabda.
Terdapat banyak hadits yang dari segi sanad termasuk kategori sahih, tetapi dari segi matan bertentangan dengan Al-Qur’an. Sehingga para ulama menyatakan bahwa betapapun sahihnya sanad suatu hadits, sepanjang matannya bertentangan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak ada artinya.
Kesahihan suatu hadits tidak dapat ditentukan hanya oleh kesahihan sanadnya saja. Tetapi matannya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syaz dan tidak mengandung ‘illah. Pertama-tama matannya harus dibandingkan dengan matan yang senada yang terdapat dalam sanad-sanad lainnya. Bila ternyata ia merupakan satu-satunya hadits yang menggunakan matan yang berbeda, jelas ia merupakan hadits syaz. Bila kandungan isinya bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits-hadits lain yang senada, maka ia dinyatakan ber’illah. Kritik matan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi kontekstual atas hadits.
B. Perspektif Sanad Hadits
Untuk memahami tentang sanad hadits, perlu memahami riwayah al-hadits. Dalam istilah ilmu hadits, riwayah al-hadits atau al-riwayah ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits kepada mata rantai para rawinya dengan bentuk-bentuk tertentu. Tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits :
a. Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits
b. Kegiatan menyampaikan hadits kepada orang lain
c. Ketika hadits itu disampaikan maka susunan mata rantai periwayatan disebutkan
Orang yang melakukan periwayatan hadits disebut al-Rawi, yang diriwayatkan disebut al-Riwayah ; susunan mata rantai periwayatan disebut sanad atau isnad dan kalimat yang disebutkan setelah sanad disebut matan. Kegiatan yang berhubungan dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadits dinamakan tahamul wa ada’ al-hadits.
Sejarah periwayatan hadits Nabi berbeda dengan sejarah periwayatan al-Qur’an. Periwayatan al-Qur’an dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum. Kemudian setelah Nabi wafat, periwayatan al-qur’an berlangsung secara mutawatir. Sebagian besar periwayatan hadits berlangsung secara ahad. Keduanya sangat ditentukan oleh sanad atau susunan mata rantai para periwayat yang ikut serta dengan hadits ketika disampaikan

 SYARAT HADIS SHAHIH
Syarat-syarat Hadits Shohih :
1. Sanadnya bersambung
2. Perawinya adil
3. Diriwayatkan perawi yang dhobit (kuat ingatan)
4. Tidak janggal
5. Tidak Ber-illat
Syarat Hadits Hassan :
1. Sanadnya Bersambung
2. Perawinya adil
3. Diriwayatkan perawi yang tidak Dhobit
4. Tidak janggal
5. Tidak ber-illat
6. Sanadnya Bersambung
7. Perawinya adil
8. Diriwayatkan perawi yang tidak Dhobit
9. Tidak janggal
10. Tidak ber-illat
11. Diriwayatkan banyak perawi
12. Mustahil mereka berbohong
13. Harus ada awal dan akhir sanad
14. Haditanya dari panca indera
- Periwayatan hadits adalah suatu ilmu untuk menerima atau menyampaikan hadits dari guru (ulama) yang lengkap dengan sanad-sanadnya.
Syarat-syarat Menerima Hadits :
1. Sehat akal
2. Sehat fisik
3. Sehat jasmani dan rohani sehingga mengetahui maksud dan tujuan hadits yang diterima.
Syarat-syarat orang yang memberikan hadits :
•Baligh
•Berakal
•Takwa (tdk melakukan dosa besar/kecil)
•Menjaga Maru’ah (harga diri)

 HADIS DLA’IF
Dha’if menurut bahasa berarti lemah, hadits dha’if secara bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Sebab-Sebab Hadits Dha’if Tertolak
a. Sanad Hadits
1. Ada kecacatan pada para perawinya baik meliputi keadilan atau kedhabitannya :
a) Dusta
b) Tertuduh dusta
c) Fasiq
d) Banyak salah
e) Lengah dalam menghafal
f) Banyak wahamnya
g) Menyalahi riwayat yang lebih tsiqah atau dipercaya
h) Tidak diketahui identitasnya
i) Penganut bid’ah
j) Tidak baik hafalannya
2. Sanadnya tidak bersambung
a) Gugur pada sanad pertama, disebut hadits mu’allaq
b) Gugur pada sanad terakhir, disebut hadits mursal
c) Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan, disebut hadits mu’dhal
d) Jika rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’.
MACAM-MACAM HADITS DHA’IF
a. Pada sanad
1. Dha’if mrena tidak bersambung sanadnya
a) Haidits munqathi’
b) Hadits mu’alaq
c) Hadits mursal
d) Hadits mu’dhal
e) Hadits mudallas
2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
a) Al-Maudhu’
b) Hadits Matruk
c) Hadits Munkar
3. Dha’if karena tiadanya Dhabit
a) Mudraj
b) Haidts Maqlub
c) Hadits Mudhtharib
d) Hadits Mushahhaf dan Muharraf
4. Dha’if karena kejanggalan dan kecacatan
a) Hadits Syadz
b) Hadits Mu’allal
b. Pada Matan
1. Hadits Mauquf
2. Hadits Maqthu’

KEMUNGKINAN HADITS DHA’IF MENJADI HASAN
Hadits dha’if bisa naik derajatnya menjadi hadits hasan bila satu riwayat dengan yang lainnya sama-sama saling menguatkan. Akan tetapi ketentuan ini tidak bersifat mutlaq. Karena ketentuan ini berlaku bagi perawi yang lemah hafalannya. Ada hadits dha’if lain yang diriwayatkan oleh perawi yang sederajat, hadits tersebut bisa naik derajat menjadi hasan. Demikian pula hadits yang lemah karena irsal atau tadlis salah satu perawinya..

 I LMU JARH DAN TADIL
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadits. Rawi yang “berat” timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang “ringan” timbangannya ditolak riwayatnya. Oleh karena itu para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Merekapun ber-ijma’ akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.
a. Syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
Seorang ulama al-Jarh wa al-Ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif. Syarat-syaratnya adalah:
1. Berilmu, bertaqwa, wara’ dan jujur.
2. Mengetahui sebab-sebab al-Jarh wa al-Ta’dil
3. Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.
b. Hal-hal yang tidak diisyaratkan bagi ulama al-Jarh wa al-Ta’dil
1. Tidak diisyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka.
2. Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dil kecuali dengan pernyataan dua orang.
c. Tata tertib Ulama al-jarh wa al-ta’dil
Beberapa point tata tertib penting yang perlu diperhatikan oleh ulama al-jarh wa al-ta’dil :
1. Bersikap obyektif dalam tazkiyah
2. Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan
3. Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya
4. Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya disyari’atkan lantaran darurat.
d. Syarat diterimanya al-Jarh wa al-Ta’dil
Syarat pertama, al-jarh wa al-ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil.
Bentuk-bentuk dan telaah kitab-kitab syariah. Antara lain :
1. Orang yang menilai jarh itu sendiri kadang kala orang yang dijarh.
2. Orang yang menilai jarh termasuk diantara orang yang sangat mempersulit dan memperberat.
Syart kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
e. Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil
Pertentangan antara jarh dan ta’dil terhadap seorang rawi, maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat dari ulama.
Pendapat yang shahih adalah yang dikutip oleh al-Khatib al-Baghdadi dari jumhur ulama dan dishahihkan oleh Ibnu al-Shalah dan muhaddits dan sebagian ulama ushul kaidah ini terbatas dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Jarh harus dijelaskan dan harus memenuhi semua syarat-syaratnya
2. Orang yang menjarh tidak sentiment atas orang yang dijarh/terlalu mempersulit dalam menjarh
3. Penta’dil tidak menjelaskan bahwa jarh yang ada tidak dapat diterima bagi rawi yang bersangkutan.
f. Hal-hal yang menetapkan Ta’dil dan Jarh seorang rawi
Ta’dil dan jarh seorang rawi ditetapkan melalui beberapa cara. Yang terpenting diantaranya sebagai berikut :
1. Dua seorang ahli ilmu menyatakan keadilan
2. Telah masyhur di kalangan ahli riwayat bahwa dia adalah seorang periwayat yang tsiqat. Alasannya adalah bahwa mengetahui rahasia para rawi yang mastur dan masyhurnya keadilan mereka itu lebih kuat daripada sekedar ta’dil dari seorang /dua orang.
3. Ta’dil oleh seseorang
4. Ta’dil bagi orang yang dikenal sebagai pengemban ilmu.
g. Beberapa hal yang tidak dapat diterima pada al-Jarh wa al-Ta’dil
1. Ta’dil secara samar
2. Ibnu Hibban berpendapat bahwa bila seseorang rawi tidak jarh,/orang yang diatasnya dan dibawahnya dalam sanad tidak jarh, sementara ia tidak pernah meriwayatkan hadits munkar, maka haditsnya dapat diterima
3. Bila seorang rawi yang adil meriwayatkan hadits dari seorang rawi lain yang disebut namanya, maka hal itu bukanlah suatu ta’dil
4. Pengalaman dan fatwa seorang alim yang sesuai dengan hadits yang diriwayatkannya tidaklah berarti bahwa hadits itu pasti shahih
h. Klasifikasi al-Jarh wa al-Ta’dil yang terpilih
Berikut ini martabat demi martabat disertai lafash-lafash yang sesuai sebagai julukan pada setiap martabat :
1. Martabat-martabat ta’dil
Martabat pertama, adalah martabat ta’dil tertinggi yaitu martabat sahabat
2. Martabat-martabat Jarh
Martabat pertama, martabat jarh yang paling ringan. Para rawi tidak berarti gugur dan hadistnya jatuh dari I’tibar, ia hanya mengalami jarh karena suatu hal, tetapi tidak menggugurkan keadilannya.
i. Sumber al-Jarh wa al-Ta’dil
Kitab-kitab tentang kaidah al-Jarh wa al-Ta’dil, diantaranya adalah :
1. Muqaddimah kitab al-jarh wa al-ta’dil karya Ibnu Abi Hatim al-Razi.
2. Al-Raf’u wa al-Takmil fi al-jarh wa al-ta’dil karya Iman Abu al-Hasanat Muhammad Abdul Hayyi al-Laknawi al-Hindi.

 HADIS MAUDLU (PALSU)
Al-Maudhu’ adalah isim maf’ ul dari wa-dha-a’, ya-dha-‘u, wadh-‘an, artinya al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtila (mengada-ada atau membuat-buat);dan al-tarku (ditinggal)
Hadits maudhu’ menurut istilah adalah
ماَنُسِبَ الَى رَسُول الله ص.م اِخْتِلاَقاَ وَكَذباً مِماَّ لَمْ يَقُلْهُ اَوْ يَفْعَلْهُ أَوْيَقْرُهُ وَقاَلَ بَعْضُهُمْ هُوَ المُخْتَلقُ المَصْنُوعُ
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya”. Jadi hadits maudhu’ itu adalah suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul.

LATAR BELAKANG MUNCULNYA HADITS MAUDHU’
Beberapa motif yang mendorong seseorang untuk membuat hadits palsu :
1. Pertentangan Politik
2. Usaha Kaum Zindik
3. Fanatic Terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa dan Pimpinan
4. Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat
5. Perselisihan Madzab dan Ilmu Kalam
6. Membangkitkan Gairah Beribadat, Tanpa Mengerti Apa Yang Dilakukan
7. Menjilat Penguasa
KAIDAH-KAIDAH UNTUK MENGETAHUI HADITS MAUDHU’
Beberapa patokan yang dijadikan alat untuk mengidentifikasi hadits itu palsu atau sahih, diantaranya :
a. Dalam Sanad
1. Atas dasar pengakuan para pembuat hadits palsu
2. Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya
3. Meriwayatkan hadits sendirian
b. Dalam Matan
1. Buruknya redaksi hadits
2. Maknanya rusak
3. Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, al-Qur’an atau hadits yang lebih kuat atau ijma’
4. Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil
5. Hadits yang bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah SAW.
6. Hadits yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat.
UPAYA PENYELAMATAN HADITS
Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut :
1. Meneliti sitem penyandaran hadits
2. Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya
3. Studi kritik rawi
4. Menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits tersebut

 TAHRIJ HADIS
Takhrij yaitu kitab-kitab yang disusun untuk mentakhrij hadits-hadits kitab tertentu. Diantara takhrij yang terpenting adalah :
1. Nashbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya al-Imam al-Hafish Jamaluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila’I al-Hanafi.
2. Al-Mughni’an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar karya al-Hafish al-Khabir al-Imam Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqi.
3. Al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’I al-Kabir karya Ibnu Hajar.
Kitab ini merupakan takhrij hadits-hadits al-Syarh al-Kabir karya al-Rafi’I, yang merupakan syarah al-Wajiz fi al-Fiqh al-Syafi’I karya Imam al-Ghazali.
Takhrij Hadits adalah Suatu ilmu untuk menelusuri hadits
Tujuan Takhrij Hadits :
• Mengetahui sumber hadits
• Mengeahui kualitas hadits
• Menambah ilmu hadits secara shohih
• Untuk mengetahui hadits terebut apakah dari Rasul atau tidak
Cara-cara mentakhrij Hadits :
• Melalui lafaz atau kata pertama hadits
• Melalui lafaz yang ada pada hadits
• Melalui perawi pertama di hadits tsb
• Melalui tema hadits
• Melalui status hadits

 PENGENALAN KUTUB SITTAH, MUWATHA, DAN MUSNAD AHMAD
Para Ulama yang memasukkan kitab hadis keenam, sehingga penyebutannya menjadi Al-Ushul Al-Sittah. Akan tetapi para ulama mutaakhirin masih berbeda pendapatnya dalam menentukan Kitab yang keenam. Sebagian ulama yang lain yakni Razin dan Ibnu Al-‘Atsir memandang bahwa Kitan Al-Muwathatha’ Imam Malik lebih pantas menduduki pokok keenam. Ada juga ulama lain yang memasukkan Al-Sunan atau Musnad susunan al-Daramy sebagai Kitab keenam, juga Kitab Al-Muntaqa susunan Al-Jarud.

 IHTISAR SANAD DAN MATAN: KAIDAH DAN TOKOH PERUMUS
1. Abu Hurairah (21 SH – 59 H = 602 M – 679 M )
Nama ‘Abu Hurairah” adalah nama kunyah atau gelar, yang diberikan oleh Rasul SAW, karena sikapnya yang sangat menyayangi kucing peliharaannya. Sedangkan nama aslinya di masa jahiliyah adalah ‘Abd Syams ibn Sakhr.
Abu Hurairah dating ke Madinah dan bergabung dengan Nabi SAW pada waktu berlangsungnya kampanye menentang Khaibar pada bulan Muharramtahun 7 H(629 M ). Abu Hurairah dikenal sebagai sahabat yang sangat sederhana dalam kehidupan materi, wara’, dan takwa. Seluruh hidupnya diabdikan kepada Allah SWT.
 2. Abdullah ibn Umar ( 10 s.H. – 74 H = 618 M – 694 M )
Abdullah bin Umar lahir pada tahun 10 sebelum hijriyah. Dalam kehidupannya sehari-harinya menurut pandangan para ulama, baik kalangan para sahabat maupun Tabi’in bahwa pribadi Ibnu Umar mencerminkan seorang ulama yang hanya mengharap ridha Allah SWT semata.


 INKARUS SUNAH: SEJARAH, ARGUMENTASI, DAN BANTAHAN ULAMA
Ingkar artinya menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin, ataulisan dan hati yang dilatarbelakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain. Menurut istilah adalah paham atau pendapat perorangan atau paham kelompok, bukan gerakan dan aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum islam.
* Ingkar Sunnah Klasik
Terjadi pada masa Imam Syafi'i ( W.204 H ). Ada tiga kelompok pengingkar sunnah yaitu :
1. Menolak sunnah secara keseluruhan, hanya mengakui Al-Qur'an saja
2. Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al-Qur'an
3. Hanya menerima sunnah mutawatir saja.
* Ingkar Sunnah Modern
Sebab utama timbulnya ingkar sunnah modern adalah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyatsejak awal abad 19 M di dunia islam, terutama di India setelah terjadinya pemberontakan melawan kolonial Inggris 1875 M.
Argumentasi yang dijadikan pedoman ingkar sunnah adalah :
~Al-Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu secara sempurna, bahkan yang diterangkan.
~Penulisan sunnah dilarang, seandainya sunnah dijadikan dasar hukum islam pasti Nabi tidak melarang.
~Al-Qur’an bersifat Qhat’I ( pasti absolut kebenarannya ) sedang sunnah bersifat Zhanni ( bersifat relatif kebenarannya ), maka jika terjadi kontradiksi antara keduanya, sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.
Ingkar artinya menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin, ataulisan dan hati yang dilatarbelakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain. Menurut istilah adalah paham atau pendapat perorangan atau paham kelompok, bukan gerakan dan aliran, ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum islam.
* Ingkar Sunnah Klasik
Terjadi pada masa Imam Syafi'i ( W.204 H ). Ada tiga kelompok pengingkar sunnah yaitu :
1. Menolak sunnah secara keseluruhan, hanya mengakui Al-Qur'an saja
2. Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al-Qur'an
3. Hanya menerima sunnah mutawatir saja.
* Ingkar Sunnah Modern
Sebab utama timbulnya ingkar sunnah modern adalah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyatsejak awal abad 19 M di dunia islam, terutama di India setelah terjadinya pemberontakan melawan kolonial Inggris 1875 M.
Argumentasi yang dijadikan pedoman ingkar sunnah adalah :
~Al-Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu secara sempurna, bahkan yang diterangkan.
~Penulisan sunnah dilarang, seandainya sunnah dijadikan dasar hukum islam pasti Nabi tidak melarang.
~Al-Qur’an bersifat Qhat’I ( pasti absolut kebenarannya ) sedang sunnah bersifat Zhanni ( bersifat relatif kebenarannya ), maka jika terjadi kontradiksi antara keduanya, sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.

DAFTAR PUSTAKA

Suparta Munzier Drs. Ilmu hadis. 2002.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
www.google.com