Rabu, 24 Maret 2010

MAKALAH IAD/IBD/ISD

OLEH :ANDREAS YUDHA PRATAMA
26.08.1.1.003
DAKWAH&KOMUNIKASI/KPI


BAB I

A. LATAR BELAKANG

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (http://id.wikipedia.org), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang, penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Wayang kulit merupakan sebuah karya seni drama boneka pipih yang terbuat dari kulit. Kulit merupakan bahan yang tidak tahan lama, sehingga para peneliti sulit menentukan umur wayang kulit itu, kapan pertama kali didesign oleh bangsa Indonesia. Mungkin saja dibuat lebih tua dari umur leluhur masyarakat Yogyakarta. Untuk menelusuri jejak perwayangan, maka dapat dilihat dalam karya-karya Sastra Jawa klasik. Dalam masa pemerintahan Raja Erlangga ditemukan buku "Harjuna Wiwaha" yang ditulis oleh Mpu Kanwa. Dalam buku tersebut tercantum sebaris kelompok kata walulang inukir, yang dalam bahasa Jawa menjadi lulang inukir, atau kulit binatang yang diukir. Dapat dikatakan pada masa tersebut telah dikenal wayang atau ringgit. Hal tersebut membuktikan bahwa wayang kult merupakan produk budaya yang dihasilkan jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia yang keberadaannya masih dipertahankan.

BAB II

PERUMUSAN MASALAH


 Sejarah perkembagan kesenian wayang
 Wayang merupakan budaya asli indonesia
 Bahan dan bagian wayang
 Wayang dan kepercayaan masyarakat
 Beberapa tokoh dan sifat-sifatnya
 Sikap mulia dalam pewayangan


BAB III
PEMBAHASAN



B. SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN WAYANG

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.
Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.
Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.
Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbauini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.
Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.
Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "Gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari "Kudawanengpati"atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.

C. WAYANG MERUPAKAN BUDAYA ASLI INDONESIA

Pada zaman Islam ditemukan informasi bahwa telah ada wayang dengan bahan utama kulit kerbau, bahan pewarna putih, dengan bahan perekat dari tulang binatang. Oleh karenanya ajaran Islam mempengaruhi karya seninya. Islam melarang karya dekoratif berbentuk manusia atau makhluk hidup, sehingga karyanya diwujudkan dalam rupa yang realistik. Karya seniman muslim lebih memanfaatkan artistik dekoratif yang bermotif flora dan geometrik. Hasilnya produk-produk seni rupa dengan gaya stilistik yang rumit dan mengagumkan. Gaya penggambaran wayang kulit purwa pada masa Islam, dalam seni Rupa Modern dinamakan penggambaran manusia secara ideoplastik, yakni penggambaran berdasarkan apa yang dipikirkan. Pengaruh Islam pada wayang kulit purwa tidak saja pada bentuknya, tetapi telah merambah pula pada aspek simbolisasi dan berkaitan pula dengan aspek lainnya yang berhubungan dengan pergelaran wayang kulit purwa.
Sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta, dalam bidang kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesenian, yang merupakan bentuk identitas kerajaan maka diciptakan bentuk-bentuk baru sesuai dengan ragam kehidupan dan sikap pimpinan Yogyakarta. Hal ini dibuktikan dengan diciptakannya sebuah tokoh wayang Arjuna Kanjeng Kyai Jayaningrum oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Ciri khas dalam hasil budaya seperti kesenian wayang kulit, tidak dapat dilihat secara mudah, sehingga untuk melihat kekhususan yang dimiliki hanya terbatas pada gejala-gejala tampilan secara fisik yang setiap orang mampu mengidentifikasi. Kesulitan inilah yang terjadi dalam mengklasifikasi mengenai perbedaan atau keistimewaan dari gaya wayang kulit.
Dalam mengenal wayang kulit Gaya Yogyakarta dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut :
1. Wayang yang bergerak, ditandai dengan tampilan posisi kaki yang melangkah lebar.
2. Tampilan bentuk tambun
3. Tangannya sangat panjang hingga menyentuh kaki
4. Tatahannya inten-intenan, terutama pada pecahan uncal kencana, sumping, turido, dan bagian busana lainnya.
5. Dilihat dari sunggingannya, menggunakan sungging tlacapan atau sungging sorotan, yaitu unsur sungging yang berbentuk segitiga terbalik yang lancip-lancip seperti bentuk tumpal pada motif kain batik.
6. Di bagian siten-siten atau lemahan, yaitu bagian di antara kaki depan dan kaki belakang, umumnya diwarna dengan merah.

D. BAHAN DAN BAGIAN WAYANG

Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya adalah kulit/tulang kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang dibudidayakan, maka bahan untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari kulit sapi bahkan adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk dan fostur wayang kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan wayang kulit yang asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (ornamen), dan pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang kulit Banjar "lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan dari belakang layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang terlihat oleh penonton , karena dibatasi oleh layar.

E. WAYANG DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

Dimasa yang lalu "wayang kulit" dipergunakan oleh masyarakat
Jawa untuk keperluan "ritual" seperti upacara ruwatan (ruwatan adalah
upacara yang diadakan untuk menolak bala - sial - yang dikarenakan
secara alami seseorang dilahirkan dengan kondisi membawa kearah
malapetaka - atau yang dipercaya akan membawa malapetaka - umpamanya :
anak tunggal, anak kembar, anak lelaki yang diapit oleh dua anak
perempuan dsb.)
Upacara lainnya yaitu untuk keperluan keselamatan
desa yang setiap bulan Suro (awal bulan tahun Jawa atau bulan Muharam
dalam tahun Islam) setahun sekali diadakan upacara pagelaran wayang
kulit semalam suntuk dengan cerita "Baratayuda" agar dalam tahun
berjalan desa akan diberi panen yang banyak dan keselamatan seluruh
warganya (cerita "Baratayuda", yaitu kisah peperangan antara Kurawa
dan Pandawa yang sesama darah Bharata untuk memperebutkan kerajaan
Hastina, dianggap cerita yang sakral yang tidak setiap dalang bisa
melaksanakan dan tidak setiap saat bisa dipentaskan).

F. BEBERAPA TOKOH

a) Yudistira
Sang raja yang konon kabarnya mempunyai darah putih,
dengan ciri utama kejujuran dan kesabaran, begitu jujurnya Yudistira
sehingga dia dikaruniai Dewata kereta yang tidak merambah bumi. Saat
pertama kali, dalam kisah Baratayuda, Yudistira mengucapkan kata yang
tidak jujur adalah ketika dia diminta oleh Sri Kresna untuk mengatakan
bahwa Aswatama telah gugur apabila ditanya oleh Pendita Durna (ayah
Aswatama), padahal yang mati adalah Gajah yang bernama Aswatama.
Pendita Durna tidak percaya bahwa Aswatama telah gugur oleh karena itu
dia menanyakan ke Yudistira yang terkenal kejujurannya. Yudistira
menjawab dengan melirihkan suara Gajah dan menekankan kata Aswatama
sehingga memberikan kesan bahwa Aswatama telah gugur dan pada saat itu
juga kereta Judistira merambah bumi karena Yudistira tidak lagi
sempurna kejujurannya. Yudistira adalah ksatria yang lebih menonjol
sifat kependetaannya dan kepemimpinannya sangat dihormati oleh
adik2-nya maupun oleh Sri Kresna.
b) Bima/Werkudoro
Jujur, tegas, disiplin, berani karena benar
c) Arjuna
Senang bertapa dan menuntut ilmu oleh karena itu sangat sakti
d) Nakula
Ahli dibidang pertanian dan kesejahteran rakyat
e) Sadewa
Ahli dibidang peternakan dan industri
f) Sri Kresna
Bijaksana, ahli strategi, antisipatif oleh karena itu sering dikatakan bisa mengerti sesuatu kejadian yang belum terjadi
g) Panakawan
Sebutan umum untuk para pengikut ksatriya dalam khasanah kesusastraan , terutama di Jawa Pada umumnya para panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, , ataupun wayang orang sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para panakawan juga berperan penting sebagai penasihat nonformal ksatriya yang menjadi asuhan mereka.

G. SIKAP MULIA DALAM PEWAYANGAN

Dunia pewayangan juga tidak bisa lepas dari dunia kepemimpinan yang ideal, yaitu syarat yang berat untuk seseorang menjadi seorang raja/pemimpin negara karena hanya pemimpin yang ideal bisa mewujudkan masyarakat yang ideal. Salah satu ajaran yang paling umum diceritakan dalam pewayangan syarat pemimipin ideal adalah "hastabrata" atau delapan sikap/laku yang diambilkan dari sifat alam yaitu pemimpin harus mempunyai sikap :
a) mahambeg mring kismo (sifat bumi) : setia memberi kebutuhan hidup kepada siapa saja
b) mahambeg mring warih (sifat air) : selalu turun kebawah (rakyat) dan memberikan kesejukan atau rasa ketentraman kepada semua rakyat.
c) mahambeg mring samirana (sifat angin) : ada dimana saja atau bersikap adil kepada siapa saja
d) mahambeg mring candra (sifat bulan) : memberi penerangan yang sejuk dan indah (kebahagian dan harapan)
e) mahambeg mring surya (sifat matahari) : memberi sinar hidup keseluruh jagat raya atau sebagai sumber petunjuk hidup
f) mahambeg mring samodra (sifat laut/samudra) : luas, tempat membuang apa saja atau sifat kasih sayang dan kesabaran
g) mahambeg mring wukir (sifat gunung) : kukuh, teguh, tidak mudah
menyerah untuk membela kebenaran maupun rakyatnya
h) mahmbeg mring dahono (sifat api) : mampu membakar semangat dan memberi kehangatan atau mampu memerangi kejahatan dan memberikan ketenteraman / perlindungan buat rakyatn


BAB IV

PENUTUP


KESIMPULAN

Wayang merupakan seni budaya jawa yang terbuat dari kulit,yang dimainkan oleh dalang dan diiringi musiktradisional yang menceritakan tokoh tokoh yang patut dijadikan contoh, seperti Pandawa Lima yang mempunyai sifat yang luhur

SARAN
Hendaknya kita sebagai mbangsa indonesia yang memiiki budaya seni wayang kulit harus bisa melestarikannya.
DAFTAR FUSTAKA


http://www.google.co.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Wayang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar