Rabu, 24 Maret 2010

TUGAS USHUL FIQH

OLEH :ANDREAS YUDHA P
26.08.1.1.003
BAGIAN YANG KETIGA
MENGENAI KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH KEBAHASAAN

I. PENDAHULUAN
Nash-nash Al-Qur'an dan Sunah adalah dalam bahasa Arab. Pema¬haman hukum dari nash hanyalah menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi uslub dalam bahasa Arab dan cara-cara dalalalahnya, serta apa yang ditunjuki tafazh-lafazhnya, baik dalam bentuk mufrad maupun murakkab (susunan). Oleh karena inilah, maka ulama ushul fiqh Islam menaruh perhatian serius pada peneiitian tentang uslub Arab, susunan-nya, dan kata-kata mufradnya, serta mengambil kesimpulan dari penelitian tersebut. Di antara yang ditetapkan oleh ulama bahasa ini ialah : Kaid-kaidah dan ketentuan-ketentuan (dhabith), yang dengan memperhatikan dapat sampai kepada pemahaman hukum dari nash-nash syar'iyyah dengan suatu pemahaman yang benar, sesuai dengan apa yang difahami oleh bahasa Arab yang nash-nash tersebut datang dengan bahasanya, dan juga mcnjadi sarana untuk memperjelas nash yang mengandung kesamaran, menghi-' langkan kontradiksi yang kelihatan di antara nash-nIash itu, dan mentakwilkan sesuatu yang menunjukkan untuk pentakwiiannya, serta lainnya yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari berbagai nashnya.
Kaidah-kaidah dan dhabit-dhabit tersebut adalah kebahasaan (lugha-wiyyah) yang diambil dari peneiitian uslub bahasa Arab, ia bukanlah suatu pembentukan keagamaan. la merupakan berbagai kaidah untuk memahami susunan kalimat dengan suatu pemahaman yang benar. Maka memahami makna dan hukum daripadanya menempuh jalan bangsa Arab dalam memahami susunan bahasa, mufradat dan uslubnya.
Berdasarkan undang-undang maupun menurut akal, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu undang-undang dengan suatu bahasa, dan menuntut umat untuk memahami lafazh dan su¬sunan kalimat materi-materi berdasarkan uslub dan dasar bahasa lain, karena sesungguhnya syarat syahnya pentaklifan undang-undang adalah ke-mampuan mukallaf untuk memahaminya. Maka undang-undang ditetapkan pada suatu ummat dengan bahasa mereka,. dan dengan bahasa mayoritas perseorangannya, supaya mereka mampu memahami hukum dari undang-undang tersebut dengan uslub pemahaman bahasa me¬reka. Undang-undang ini tidak menjadi hujjah atas ummat apabila ia dite¬tapkan dengan bukan bahasa mereka, atau cara pemahamannya bukanlah cara pemahaman bahasa yang ditetapkan pada mereka. Allah SWT, berfirman :
4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan[780] siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Ibrahim : 4)

Berdasarkan uraian tersebut, maka qaidah dan dhabit yang telah di¬tetapkan ulama ushul fiqh Islam mengenai cara-cara penunjukan (dhalalah) lafzah terhadap makna, shighat (bentuk) yang menunjukkan pengertian umum, dan apa yang ditunjuki oleh lafazh yang ramm, muthlaq dan musytarak, mengenai sesuatu yang mengandung takwil dan sesuatu yang tidak memungkinkan takwil, mengenai bahwa yang diakui adalah keumuman la¬fazh, serta berbagai ketentuan dalam memehami nash dan mengambil hukum dari padanya yang lain, sebagaimana ia diperhatikan dalam memahami nash-nash hukum syara', memahami nash undang-undang keperdataan, perdagangan, hukum acara, pidana, dan lainnya dari berbagai perundang-undangan negara yang ditetapkan dalam bahasa Arab, sesuai dengan materi 149 dari Undang-Undang Dasar (Mesir): "Islam adalah agama negara dan bahasa Arab adalah bahasa resminya"
Tidak boleh dikatakan, bahwasanya sebagian undang-undang ini di-transfer ke dalam bahasa Arab, dari sumber Perancis, sedangkan penetap sumber tersebut tidak mengetahui uslub bahasa Arab dalam pemahamannya, dan tidak pula menghendaki agar materi-materinya difahami . Sesuai dengan bahasa Arab, karena sesungguhnya kita mengatakan : “Sesungguhnya undang-undang yang dibebankan pada kita disusun dengan bahasa Arab dan dianggap keluar dari orang yang memahami uslub dengan bahasa Arab”.
Pentaklifan tidaklah bisa lurus kecuali apabila ia dimaksudkan untuk mem-berikan pemahaman sesuai dengan uslub bahasa yang disusun dengannya. Uslub bahasa yang menjadi asal pengalihannya tidak dianggap. Berdasarkan hal ini, apabila nash (teks) bahasa Arabnya dan teks aslinya yang berbahasa Perancis bertentangan, dan tidak mungkin dikompromikan antara keduanya, maka yang dipergunakan teks Arabnya, karena sesungguhnya orang banyak tidaklah ditaklif kecuali dengan apa yang mereka fahami. Ialah yang disebarluaskan di antara mereka.
Berdasarkan ini, Mahkamah banding Mesir menjalankan keteiaparmya yang keluar pada tanggal 30 Januari 1929 dengan berhujjah, bahwasanya undang-undang tidaklah menjadi undang-undang kecuali apabila telah disebarluaskan kepada rakyat, dan disebarluaskan dalam dua bahasa, Arab dan Perancis, padahal mayoritas rakyat tidak rnengetahui bahasa Perancis bahasa diskusi dalam undang-undang adalah bahasa Arab (Majallah Muhamah, h. 529/tahim kesembilan). Dan tidak boleh mempergunakan teks Perancis sebagaimana pendapat mahkamah banding dalam keputusannya yang keluar pada tanggal 29 Desember 1924 yang berhujjah, bahwa ia adalah yang asli yang menjadi penetapan materi itu. Lebih-lebih lagi, bahwasanys bahasa Perancis adalah bahasa Undang-undang. (Majallah Muhamah. h. 805 tahun keenam). Karena sesungguhnya dalam hal ini terdapat pembebanan manusia dengan sesuatu yang tidak mereka fahami dan berbicara dengan bahasa yang harus mereka fahami sebagai tuntutan bahasa lain.
KAIDAH PERTAMA
JALAN DALALAH (PETUNJUK) NASH
Nash Syar'i atau perundang-undangan wajib diamalkan sesuai dengan sesuatu yang difahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya), atau isyaratnya, atau dalalahnya, atau iqtidha'nya. Karena segala sesuatu yang difahami dari nash dengan salah jalan dari empat jalan tersebut, maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash, sedangkan nash ada¬lah hujjah atasnya.
"Apabila pengertian yang difahami dengan salah satu jalan tersebut bertentangan dengan pengertian lainnya yang difahami melalui jalan dari jalan-jalan tersebut, maka makna yang difahami dari ibarat dimenangkan atas makna yang difahami melalui isyarat; dan makna yang difahami me¬lalui salah satu dari dua jalan tersebut dimenangkan atas makna yang di¬fahami melalui dalalah".
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah : Bahwasanya nash syar'i atau perundang-undangan terkadang menunjukkan beberapa makna yang beragam melalui cara dalalah tersebut. Dalalah nash tersebut tidaklah terbatas pada makna yang difahami dari ibaratnya dan huruf-huruf-nya, akan tetapi terkadang pula ia menunjukkan berbagai makna yang di¬fahami dari isyaratnya, dari dalalahnya, dan dari iqtidha'nya, Setiap makna dari makna-maknanya yang difahami dengan salah satu dari cara-cara ter¬sebut maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash. Nash adalah dalil dan hujjah atas dirinya, dan ia wajib mengamalkannya. Karena seseorang yang dibebani dengan nash (teks) perundang-undangan juga di-bebani untuk melaksanakan makna yang ditunjuki oleh nash tersebut, de¬ngan salah satu cara yang diakui menurut bahasa. Apabila seorang mukallaf mengamalkan madlul (yang ditunjuki) oleh nash dari sebagian cara dala¬lahnya dan tidak mengabaikan pengamalan terhadap madlul nash dari cara yang lain, maka sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan nash dari sebagian segi. Oleh karena itulah, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata : "Wajib mengamalkan apa yang ditunjuki oleh ibarat nash dan apa yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash tersebut. Sebagian dari jalan-jalan tersebut lebih kuat dalalahnya dari sebagian yang lain. Pengaruh perbedaan tingkatan ini akan jelas ketika terjadi kontradiksi.

A. IBARAT NASH
Yang dimaksud dengan ibarat nash adalah shighatnya yang terdiri dari berbagai satuan kata (mufradat) dan kalimat. Sedangkan yang dimak¬sud dengan makna yang difahami dari ibarat nash ialah makna yang segera dapat difahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Sepanjang makna itulah yang zhahir pemahamannya dari shighat nash. Sedangkan nash disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka ia adalah yang ditunjuki oleh ibarat nash, yang juga disebut dengan makna literal bagi nash. Jadi dalalah ibarat ialah : dalalah shighat terhadap makna yang segera dapat difahami darinya, yang dimak¬sudkan dari susunannya, baik makna tersebut dikehendaki dari susunannya secara asli ataupun dikehendaki secara pengikutan.
Contoh yang memperjelas perbedaan antara yang dimaksud dari susunan kalimatnya secara asli dan yang dimaksud sebagai pengikutan:
Allah SWT berfirman :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4/An Nisa' :3).
Dari ibarat nash ada tiga makna dapat difahami, yaitu : pembolehan mengawini wanita yang disenangi, membatasi jumlah maksimal isteri sebanyak empat orang, dan pewajiban mencukupkan satu orang isteri saja, apabila dikhawatirkan berlaku tidak adil pada saat isteri banyak. Sebab seluruh makna tersebut ditunjuki oleh lafazh nash dengan dalalah yang nyata. Semuanya dimaksudkan dari susunan kalimatnya, akan tetapi makna yang pertama dimaksudkan secara pengikutan, sedangkan makna yang kedua dan yang ketiga dimaksudkan secara asli. Sebab ayat tersebut disusun untuk menyesuaikan orang-orang yang menjadi washiy terhadap orang-orang yang membatasi diri yang keberatan untuk menerima wasiat, karena merasa khawatir untuk berlaku tidak adil terhadap harta benda anak-anak yatim.
Allah swt. mengingatkan kepada mereka bahwasanya kekhawatiran untuk berlaku zhalim juga harus menghalangi kamu untuk memperbanyak isteri kepada jumlah yang tak terbatas dan tanpa suatu ikatan. Oleh karena itu, mereka haruslah mencukupkan dua orang atau tiga orang atau empat orang isteri. Dan jika mereka juga merasa khawatir untuk tidak dapat berlaku adil ketika beristeri banyak, maka hendaklah mereka mencukupkan pada seorang isteri saja. Mencukupkan pada dua orang isteri, atau tiga orang is¬teri, atau empat orang isteri atau seorang istri saja adalah wajib bagi orang yang merasa khawatir, untuk berlaku tidak adil. Makna inilah yang dimaksudkan secara asli dari-susunan ayat tersebut Makna ini diikuti lagi dengan penjelasan mengenai kebolehan perkawinan. Pembolehan perkawinan dimaksudkan secara pengikutan bukan secara asli, sedangkan yang dimaksudkan secara asli adalah pembatasan jumlah isteri sebanyak empat orang, atau satu orang saja. Kalau sekiranya hanya dibatasi pada dalalah pada makna yang dimaksud dari susunan kalimatnya, niscaya Allah berfirman : "Dan jika kamu merasa khawatir untuk tidak dapat berlaku adil pada anak yatim, maka cukupkanlah pada jumlah pada isteri tidak lebih dari empat orang. Kemudian jika kamu merasa khawatir tidak berlaku adil, di antara jumlah itu, maka cukupkanlah pada seorang isteri saja”.

B. ISYARAT NASH.
Yang dimaksud dengan makna yang difahami dari isyarat nash adalah makna yang tidak segera dapat difahami dari lafazh-lafazhnya, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah makna yang lazim bagi makna yang segera dapat difahami dari lafazhnya. Jadi ia ada¬lah makna yang ditunjuki oleh lafazh melalui cara iltizam. Karena ia ada¬lah makna iltizami dan tidak dimaksudkan dari susunannya, maka dalalah nash terhadap makna tersebut melalui isyarat bukan ibarat. Segi kelazimannya terkadang jelas, dan terkadang pula tersembunyi. Oleh karena inilah mereka berkata : "Sesungguhnya sesuatu yang disyaratkan oleh nash, terkadang pemahamannya membutuhkan penalaran yang mendetail dan pemikiran yang bertebih. Terkadang pula ia dapat difahami dengan pemikiran yang sederbana. Jadi, dalalah isyarat adalah dalalah nash terhadap makna yang lazim bagi sesuatu yang difahami dari ibaratnya, namun tidak dimak¬sudkan dari susunannya, pemahamannya membutuhkan perenungan yang berlebih atau sederhana, sesuai dengan jelasnya segi kelaziman dan ketersembunyiannya.
Contohnya dalalah isyaraf ini ialah firman Allah SWT:

…dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. (QS. 2/Al-Baqarah: 233)
Dari ibarat nash ini dapat difahami bahwasanya nafkah para ibu, baik makanan maupun pakaian adalah wajib atas para ayah, karena sesungguhnya pengertian inilah yang segera tertangkap dari lafazh-lafazhnya, yang dimaksudkan dari susunannya. Dan berdasarkan isyarat nash difahami pula bahwasanya ayah tidak disertai oleh siapapun dalam kewajiban menafkahi anaknya, karena anak adalah untuknya bukan untuk orang lain. Kalau se¬kiranya seorang ayah itu adalah dari suku Quraisy dan ibunya bukan Quraisy maka anaknya adalah untuk ayahnya yang Quraisy itu, karena anaknya adalah untuknya bukan untuk orang lain. Selanjutnya babwasanya ayah¬nya ketika membutuhkan dapat memiliki harta anaknya sesuai yang dibutuhkannya tanpa suatu ganti, karena anak tersebut adalah baginya, maka harta kekayaan anaknya juga miliknya. Hukum-hukum ini difahami dari isyarat nash. Karena sesungguhnya pada lafazh nash terdapat pengkaitan anak pada ayahnya dengan huruf, lam. yang mempunyai pengertian pengkhususan yaitu:
(dan atas orang yang (anak itu) dilahirkan untuknya).
Pengkhususan inilah yang diungkapkan dalam hadits :
Artinya:
"Kamu dan hartamu adalah bagi ayahmu "
Dari kelaziman pengkhususan ini adalah tetapnya hukum-hukum ter¬sebut. Hal tersebut merupakan hukum lazim bagi makna yang difahami dari ibarat nash, namun tidak dimaksudkan dari susunannya. Oleh karena inilah, maka pemahamannya adalah dari isyarat nash, bukan dari ibaratnya.
Satu contoh dari undang-undang pidana (Mesir):
Materi 274: "Wanita yang bersuami yang terbukti berzina dihukum kurungan (penjara) selama tidak lebih dari dua tahun, akan tetapi suaminya berhak untuk menghentikan pelaksanaan hukuman dengan kerelaannya untuk bergaul dengannya kembali”.
Materi ini berdasarkan ibaratnya menunjukkan penghukuman isteri yang terbukti berzina, dan bahwa suami berhak untuk menghentikan ekse-kusi hukuman tersebut. Selanjutnya berdasarkan isyaratnya, materi tersebut menunjukkan bahwa perzinaan isteri bukanlah kriminah'tas sosial dalam pandangan pembuat hukum di Mesir, ia hanyalah tindak kriminal terhadap suami. Ini adalah lazim (konsekuensi) dari penetapan hak kepada suami untuk menggugurkan hukumannya, Karena kalau sekiranya ia merupakan kriminalitas sosial seperti pencurian, niscaya tidak seorangpun berhak untuk menggugurkan hukumannya.
Contoh dari undang-undang perdata (mesir) yang telah dianulir, yaitu :
Materi 155 : "Anak dan suami anaknya sepanjang masih tetap hubungan perkawinan, wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya dan isterinya".
Materi 156 : Demikian pula orang tua wajib menafkahi anak-anaknya dan isteri anak-anaknya dan para suami diwajibkan memberi nafkah satu sama lain.
Mated 157 : Penentuan jumlah nafkah dengan memperhatikan berbagai kelaziman orang yang nafkah itu diwajibkan pada mereka dan kekayaan orang yang diwajibkan mengeluarkannya. Bagaimanapun juga wajib membayarkan nafkah bulaii demi bulan dengan didahulukan.

C. DALALAH NASH
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang difahami dari dalalah nash adalah makna yang difahami dari jiwa dan penalaran nash. Jika ibarat suatu nash menunjukkan hukum suatu kasus, karena suatu illat yang menjadi dasar hukum ini, dan kasus lain ditemukan yang menyamai kasus tersebut dalam segi illat hukumnya, atau bahkan ia lebih-lebih lagi, dan persamaan atau kelebihan itu segera dapat difahami dengan semata-mata memahami bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau qiyas, maka secara bahasa dapat difahami bahwa nash tersebut menyangkut dua kasus itu, dan bahwa hukum yang tetap bagi yang manthuq (yang dikatakan) juga tetap bagi mafhum yang sesuai dengannya dalam illat, baik sejajar persamaannya atau lebih-lebih lagi.
Misalnya dalalah nash ialah firman Allah SWT. mengenai urusan dua orang tua, yaitu
Artinya : "Makajanganlah kamu mengatakan "Uff!" kepada mereka"
(QS.17/Atlsra':23)
Satu contoh dari undang-undang perdata (Mesir) yang telah dianulir : Materi 370 menyebutkan bahwa:
"Orang yang menyewakan tidak boleh dibebani untuk mengerjakan bentuk perbaikan apapun, kecuali apabila hal tersebut diisyaratkan penetapannya dengan hal itu pada waktu diisyaratkan penetapannya dengan hal itu pada waktu akad".
Dari dalalah nash ini difahami bahwa orang yang menyewakan tidak boleh dibebani untuk meni-buat kamar, misalnya. Karena sesungguhnya hal ini lebih berat lagi dari-pada mengerjakan perbaikan dalam adanya illat larangan pembebanan itu, yaitu adanya saling merelakan terhadap sesuatu yang diperjanjikan dengan keadaannya pada waktu akad dilakukan.

D. IQTIDHA' NASH
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang difahami dari iqtidha' nash adalah : makna yang suatu kalimat tidak, dapat lurus kecuali dengan mem-perkirakan makna itu. Dalam sighat nash tidak terdapaf lafazh yang me¬nunjukkan makna itu, akan tetapi kesahehan shighatnya dan kelurusan pengertiannya. menuntut keberadaannya, atau kebenarannya dan kesesuaiannya dengan kenyataan menuntutnya.
Misalnya firman Allah SWT:
Artinya :
"Diharamkan atas kamu ibumu dan anak-anakperempuan kamu.......".
(QS. 4/An-Nisa': 23).
Tetapi ayat tersebut maksudnya mengawini mereka
Ayat tentang wanita yang diharamkan pada surat An-Nisa', yaitu firman Allah SWT:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu.
Sesungguhnya makna yang diambil dari ibaratnya merupakan makna yang segera dapat difahami dari lafazhnya yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Sedangkan makna yang diambil dari isyaratnya merupakan makna yang lazim bagi makna ibaratnya dengan suatu kelaziman yang tidak dapat dihindarkan. Jadi, ia merupakan yang ditunjuki oleh nash melalui cara iltizam. Selanjutnya makna yang diambil dari dalalahnya merupakan makna yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash itu. Kemudian makna yang difahami secara iqtidha' adalah makna dahruri yang dituntut perkiraannya oleh ibarat nash atau kelurusan maknanya.
Cara ibarat lebih kuat dalalahnya daripada cara Isyarat Karena yang pertama menunjukkan kepada suatu makna yang segera difahami dari susunan kalimatnya, sedangkan yang kedua menunjukkan kepada makna lazim. Yang tidak dimaksudkan melalui susunan kalimatnya. Masing masing dan keduanya lebih kuat daripada cara dalalah, karena dua yang pertama merupakan manthuq nash dan madlulnya dari sighatnya dan lafazhnya. Akan tetapi cara dhalalah merupakan mafbum nash dan madlulnya dari segi jiwanya dan penalarannya. Karena perbedaan ini, maka ketika terjadi kontradiksi, maka yang difahami melalui ibarat didahulukan atas yang difahami isyarat. Dan yang difahami dari salah satu dari keduanya dimenangkan atas yang difahami melalui dalalah.
Contoh kontradiksi antara makna yang difahami dari ibarat dan makna yang difahami dari isyarat dari nash syar'iyyah ialah firman Allah. SWT
" .......diwajibkan'atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh......" (QS. 2 /Al-Baqarah: 178).
Dengan firman Allah SWT: 
"Dan barangsiapa yang membunuk seOrang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam"(QS. 4/An-Nisa': 93).
Ayat yang pertama menunjukkan berdasarkan ibaratnya terhadap kewajiban qishash dari pembunuh, dan ayat kedua menunjukkan melalui isyratnya, bahwasanya orang yang membunuh dengan sengaja tidak dikenakan qishash, karena adanya pembatasan bahwa balasannya adalah neraka Jahannarn merupakan isyarat kepada hal ini, karena dari pembatasan pada posisi penjelasan berarti tidak ada hukuman lain yang wajib atas dirinya. Akan tetapi madlul (pengertian yang ditunjuki) oleh ibarat nash dimenangkan atas pengertian yang ditunjuki oleh isyarat nash dan qishashpun wajib.
Berdasarkan cara isyarat nash diambil pengertian bahwasanya ia tidak wajib memerdekakan seorang hamba sahaya, karena ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tidak ada kaffarat dosanya di dunia, karena telah ditetapkan bahwa balasannya adaiah kekekalannya di dalam neraka Jahannam, tidak lainnya. Karena kedua pengertian tersebut bertentangan, maka isyarat nash dime¬nangkan atas datalah nash. Oleh karena itu, orang yang membunuh dengan sengaja tidak wajib memerdekakan seorang hamba sahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar